Huru-Hara Tionghoa di Batavia

Handoko Widagdo
Penulis


Hubungan orang Belanda dengan orang Tionghoa di Nusantara mulanya terjadi di pelabuhan Bantam (Banten). Saat itu perusahaan Belanda yang ingin berdagang dengan Cina dan Nusantara menggunakan orang-orang Tionghoa di Banten sebagai agennya (hal. 5). Orang-orang Tionghoa yang sudah menjadi pengepul rempah-rempah, khususnya lada menjadi pemasok bagi kapal-kapal Belanda yang datang ke Banten. Namun karena orang-orang Tionghoa memonopoli perdagangan rempah, dan mereka dekat dengan kekuasaan Banten, maka sering orang-orang Tionghoa ini mengatur harga seenaknya sendiri. Maka Belanda pun akhirnya membangun sebuah pelabuhan baru di Batavia.

Jan Pieterszoon Coen menyadari pentingnya peran orang Tionghoa dalam membangun “republik koloni” di Batavia. Itulah sebabnya Coen berupaya mendatangkan sebanyak mungkin orang Tionghoa ke Batavia. Bahkan dalam beberapa kasus, Belanda melakukan penculikan orang-orang Tionghoa untuk dimukimkan di Batavia (hal. 10). Kebijakan Coen yang menghargai orang Tionghoa ini diteruskan oleh para penggantinya. Lijn, Reynierz, van Hoorn menghargai sifat-sifat baik orang Tionghoa yang sangat dibutuhkan dalam membangun koloni di Batavia (hal. 16). Para gubernur jenderal ini memberikan kemudahan-kemudahan bagi orang Tionghoa di Batavia.

Perubahan mulai terjadi di masa Gubernur Jenderal Maetsycker pada tahun 1665. Maetsycker tidak merasa bahwa orang Tionghoa saja yang bisa membangun Batavia. Jika orang Belanda diberi perlakuan dan kesempatan yang sama seperti orang Tionghoa, maka orang Belanda bisa melakukan pembangunan Batavia yang lebih baik. Pendapat ini sangat bertentangan dengan pandangan Ceon yang tidak suka orang-orang Belanda bebas yang hanya mau mencari kekayaan supaya lekas bisa pulang ke Belanda (hal. 17).

Perkembangan perdagangan kumpeni dan potensi Batavia sebagai pusat perdagangan Belanda di Nusantara telah membuat migrasi orang Tionghoa ke Batavia dalam jumlah yang besar. Ketika jumlahnya dirasa sudah terlalu banyak dan pandangan bahwa selain orang Tionghoa juga bisa melakukan pekerjaan-pekerjaan seperti yang selama ini dilakukan oleh orang Tionghoa, maka dibuatlah peraturan-peraturan yang membebani orang-orang Tionghoa di Batavia. Namun sayang sekali pelaksanaan peraturan-peraturan ini tidak bisa berjalan baik karena pejabat Belanda yang korup dan mudah disuap. Akibatnya imigram dari Tiongkok selatan terus mengalir ke Batavia. Gubernur Jenderal Christoffer van Swoll misalnya berhasil mencegah jung-jung Cina merapat di Batavia saat dia berkuasa (hal. 22).  Namun hilangnya jung-jung Cina dari pelabuhan-pelabuhan di Jawa juga berakibat menurunnya perdagangan Belanda di Nusantara. Oleh sebab itu Gubernur Jeneral berikutnya, Henricus Zwaardecroon mengubah kebijakan dan menarik kembali jung-jung Cina supaya mendarat di pelabuhan-pelabuhan Jawa (hal. 23). Akibatnya imigran Cina kembali datang bersama datangnya jung-jung tersebut. Migrasi orang-orang Tionghoa ini disebabkan karena perang yang terjadi di daratan Cina dan adanya kesempatan kerja di Jawa. Tidak semua imigran ini memiliki keterampilan.

Ketika terjadi perlambatan ekonomi di Batavia, banyak orang Tionghoa yang menganggur. Mereka yang menganggur ini mulai melakukan kejahatan dengan mencuri dan merampok. Bahkan mereka berani merampok rumah seorang pejabat militer Belanda. Untuk menanggulangi ancaman kerusuhan, aturan tentang pembaruan ijin tinggal bagi penduduk Tionghoa diberlakukan. Maksud dari peraturan ini adalah untuk memulangkan atau mengirim mereka ke Sri Lanka bagi penduduk Tionghoa yang tidak memiliki pekerjaan tetap. Peraturan ini dikenal dengan nama Resolusi 25 Juli 1740 (hal. 38). Namun pelaksanaan resolusi ini sangat represif. Siapa saja orang Tionghoa yang ada di jalan ditangkap. Akibatnya orang-rang Tionghoa tidak berani keluar rumah. Sehingga bisnis pun berhenti secara mendadak. Pasokan beras dan sayur terhenti. Pajak tidak tertagih. Namun kejahatan tetap saja tak bisa ditanggulangi. Akhirnya terjadilah penyerangan-penyerangan oleh orang Tionghoa pada tanggal 9 Oktober 1740. Penyerangan-penyerangan ini dibalas dengan pembantaian pada tanggal 10 Oktober yang mengakibatkan setidaknya 10.000 orang Tionghoa terbunuh di Batavia.

Laporan-laporan dari beberapa pihak yang menyatakan bahwa ada kelompok-kelompok Tionghoa bersenjata. Penyerangan oleh beberapa kelompok Tionghoa kepada pasukan Belanda di Tangerang dan Bekasi telah menimbulkan korban. Akibatnya penyerangan balasan dilakukan terhadap kelompok pemberontak yang dipimpin oleh Taij-Wansoeij. Situasi ini menyebabkan banyak orang Tionghoa tidak berani keluar rumah karena telah timbul kebencian kepada orang Tionghoa. Kondisi ini menyebabkan pembahasan yang panas antara Von Imhoff dengan Valckenier di Raad van Indie (dewan kota). Pada tanggal 7 Oktober 1740 diputuskan untuk melindungi para orang Tionghoa dengan ancaman hukuman rantai bagi mereka yang mengganggu orang Tionghoa. Namun sehari setelahnya, yaitu tanggal 8 Oktober keputusan baru yang bertentangan dibuat. Warga Tionghoa tidak boleh masuk kota dan membawa pergi kaum perempuan, semua orang Tionghoa yang menolak menyerahkan senjata atau melawan milisi kota akan ditembak dan warga Tionghoa harus berada di dalam rumah mulai pukul 16.30. Bagi warga Tionghoa yang masih ada di jalan setelah jam 16.30 akan ditembak (hal. 64). Kebijakan yang berubah dengan selah sehari ini menyebabkan posisi orang Tionghoa menjadi sulit. Akibatnya tanggal 9 Oktober pagi-pagi buta mulailah terjadi pembantaian warga Tionghoa (hal. 69).

Vermeulen membahas panjang lebar persaingan pribadi antara Von Imhoff dengan Valckenier. Persaingan ini menjadi salah satu sebab lambatnya penanganan masalah keamanan Batavia yang berakibat pada kerusuhan dan pembunuhan warga Tionghoa. Keputusan yang tepat tidak bisa diambil dengan baik karena persaingan dua orang ini.

Pembantaian bukan saja terjadi kepada gerombolan orang-orang Tionghoa yang memberontak. Pembantaian juga terjadi kepada orang Tionghoa di kota. Rumah-rumah orang Tionghoa di dalam kota dijarah dan dibakar. Para lelakinya dibunuh. Dalam hal pembunuhan orang-orang Tionghoa yang ada di dalam kota Valckenier dalam pembelaannya menyebutkan bahwa orang-orang Tionghoa di kota terlibat dalam mempersiapkan pemberontakan dengan menyerahkan uang kepada gerombolan pemberontak. Namun alasan Valckenier ini tidak bisa dibuktikan karena ternyata para anggota gerombolan pemberontak tidak memiliki cukup senjata (hal. 73). Demikian pula dengan bukti-bukti lain yang diajukan oleh Valckenier tidak ada yang bisa dibenarkan.

Pembantaian orang-orang Tionghoa diikuti dengan penjarahan yang masif. Upaya pemerintahan Gubernur Jenderal Valckenier adalah mengamankan kota. Sementara itu pemberontakan terus terjadi di seputaran Batavia. Kota baru benar-benar dinyatakan aman pada tanggal 29 November 1740 (hal. 86). Namun Poelo Gadong (Pulau Gadung?), Bekasi dan wilayah di sebelah timur Batavia masih belum aman. Pemberontak masih bersembunyi di pedalaman dengan kekuatan 18.000 orang (ada juga laporan yang menyatakan kekuatannya 8.000 orang). Pembersihan terhadap pemberontak dilakukan secara sporadis dan tidak ofensif. Pembersihan ini menyebabkan para pemberontak bergerak ke arah timur. Salah satu diantaranya adalah pasukan yang dipimpin oleh Khe Panjang.

Pembantaian orang Tionghoa di Batavia diikuti dengan pembantaian orang-orang Tionghoa di Semarang dan Gresik. Pembantaian ini mengobarkan pemberontakan lain di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Diantaranya adalah kelompok yang dipimpin oleh Singseech (hal. 91). Untuk mencegah konsolidasi pasukan pemberontak Tionghoa, Batavia mengusulkan kepada otoritas di Semarang untuk mengadu domba pasukan Tionghoa dengan orang Jawa (hal. 92). Namun usulan ini belum sempat dilaksanakan.

Tentang peperangan di Jawa Tengah, Vermeulen menyampaikan bahwa sesungguhnya tidak pernah ada “Perang Tionghoa”. Yang ada adalah pertikaian antara kelompok-kelompok di Keraton Mataram yang masing-masing menggunakan kelompok Tionghoa. Peran pasukan Tionghoa dilebih-lebihkan untuk menutupi kesalahan masing-masing pihak (hal. 93). Vermeulen berargumen bahwa gerombolan-gerombolan Tionghoa ini terlalu kecil untuk bisa memberi pengaruh yang besar. Di bagian lain buku ini Vermeulen juga menyajikan fakta bahwa pada tahun 1941 pemerintah di Batavia berupaya untuk menarik jung-jung Tionghoa mau masuk ke Batavia. Pada tahun 1744 pemerintah Batavia telah berupaya kembali mendatangkan orang Tionghoa ke dalam koloni dan upaya ini diapresiasi oleh pemerintah di Belanda pada tahun 7145 (hal. 122). Fakta ini memberi bukti lain bahwa pemberontakan orang Tionghoa tidaklah sebesar seperti yang digambarkan oleh berbagai pihak.

Pembantaian orang Tionghoa ini menyebabkan Valckenier diadili dan didakwa sebagai pihak yang bertanggung jawab. Harta Valckeinier disita dan dia ditahan. Namun Vermeulen menyimpulkan bahwa pembantaian ini tidak bisa dituduhkan kepada Valckeinier atau pihak lain. Vermeulen menyatakan bahwa pembantaian diakibatkan karena timbulnya perasaan takut dan marah serta tidak terorganisir dari sebuah populasi terhadap elemen lain dari populasi yang bermusuhan dan aneh (hal. 105). Penyebab lainnya adalah karena lemahnya pemerintah yang diakibatkan oleh perpecahan internal (hal. 109).

Akibat dari pembantaian orang Tionghoa ini adalah macetnya pemasukan pajak, hilangnya pasokan beras dan bahan pangan lainnya dari pasaran dan mandegnya perdagangan laut serta merosotnya harga property di Batavia. Menyadari hal ini Gubernur Jenderal Von Imhoff pada tahun 1744 mengijinkan kembali orang Tionghoa untuk memasuki koloni. Namun untuk mencegah terulangnya imigran gelap yang tidak memiliki keterampilan, Von Imhoff lebih selektif dalam menerima imigran baru (hal. 138) dan menempatkan mereka dalam pemukiman-pemukiman yang dikontrol.

Sumber: https://indonesiana.tempo.co/read/83832/2016/07/31/Huru-hara-Tionghoa-di-Batavia

Komentar (0)


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Bidang yang harus diisi ditandai *