Dijatuhkannya bom atom di kota Hiroshima adalah salah satu tragedi kemanusiaan terbesar dalam sejarah yang sampai sekarang, bahkan nanti, tidak akan terlupakan. Peristiwa yang terjadi pada tanggal 6 Agustus 1945 ini mencatatkan rekor baru, yaitu penggunaan bom atom dalam peperangan untuk pertama kalinya di panggung sejarah dunia. Hiroshima menjadi sasaran percobaan pertama proyek yang dinamai Manhattan Project tersebut. Dan dampak yang ditimbulkan proyek yang menelan US$1,89 miliar itu sungguh luar biasa. Setelah pengeboman tersebut Jepang menyerah kepada Sekutu di Perang Dunia II. Dan dampak yang sangat menyentuh sisi kemanusiaan adalah terbunuhnya ratusan ribu orang dan masih banyak korban yang harus menanggung cacat seumur hidup.

Kengerian detik-detik menjelang, selama, dan pasca-pengeboman tersebut digambarkan John Jersey dalam bukunya ini. Bersumber dari hasil wawancara para korban yang selamat, jurnalis yang pernah memenangi Pulitzer Prize ini menuliskan kisah para korban dengan gaya ala cerita fiksi yang enak dibaca. Lewat tulisannya ini kita bisa ikut mengetahui dan merasakan langsung bagaimana rasanya berada di tengah-tengah tragedi kemanusiaan ini.

John Hersey menceritakan kisah ini lewat sudut pandang orang ketiga dan membaginya dalam empat bab: Kilat tanpa SuaraApiPerinciannya sedang Diselidiki; dan Panic Grass dan Tanaman Feverfew. Ada enam tokoh yang menjadi tokoh utama cerita. Keenam tokoh ini adalah para korban yang selamat dari tragedi ini. Mereka adalah Nona Toshiko Sasaki, dr. Masazaku Fujii, Nyonya Hatsuyo Nakamura, Pastur Wilhelm Kleinsorge, dr. Terufumi Sasaki, dan Pendeta Kiyoshi Tanimoto.

Dari kisah-kisah para korban tersebut kita dapat mengetahui bahwa situasi hari-H di Hiroshima menjelang pengeboman relatif tenang. Bahkan sirine situasi aman sempat berbunyi sekitar pukul 08.00. Namun pemerintah kota sudah memberi peringatan pada warga agar selalu waspada. Sebab dari sekian kota penting di Jepang, hanya Hiroshima dan Kyoto yang belum disatroni B-san (Jepang: Tuan B; istilah yang digunakan warga Jepang saat itu untuk menyebut pesawat pengebom B-29). Hiroshima sendiri adalah salah satu pusat komando militer dan komunikasi di Jepang. Bahkan Hiroshima akan menjadi markas besar Kekaisaran Jepang jika Tokyo jatuh ke tangan musuh. Karenanya kota ini menjadi sasaran yang menarik. Pada akhirnya alasan agar warga Hiroshima tetap waspada terbukti. Beberapa saat setelah sirine situasi aman berbunyi, bom atom dengan nama sandi Little Boy dijatuhkan.

Keenam korban selamat yang menjadi narasumber John Hersey merasakan pengalaman yang nyaris sama saat bom meledak. Mereka merasakan ada serangan kilat yang hebat saat bom meledak. Segalanya terasa runtuh dan menimpa mereka. Saat itu hanya Pendeta Tanimoto yang tidak terkubur dalam reruntuhan karena ia berada di luar ruangan. Setelah itu kita akan membaca kisah yang berbeda dari para korban selamat ini dalam usaha mempertahankan hidup.

Membaca pengalaman-pengalaman para korban pascaledakan inilah yang akan mengusik rasa kemanusiaan kita. Lewat pengalaman Pendeta Tanimoto kita akan mengetahui bahwa seluruh Hiroshima mengepulkan debu tebal. Kerusakan parah ada di mana-mana, padahal langit sangat sunyi dan tidak ada kesan kalau bom baru saja dijatuhkan. Tak lama sesudah keadaan itu butiran-butiran air sebesar kelereng jatuh dari langit akibat reaksi dari panas dan bagian fisi atom yang berputar di atas langit Hiroshima. Sementara itu dr. Fujii merasakan situasi yang berbeda: angin berhembus ke segala arah dan api mulai muncul dan menyebar dengan cepat. Padahal sebelum ledakan tak ada angin yang berhembus.

Korban pun banyak berjatuhan. Jumlah penduduk Hiroshima ada 245.000 jiwa dan hampir 100.000 orang langsung tewas atau sekarat dalam ledakan tersebut. Keadaan ini digambarkan John Hersey dengan banyaknya mayat dan orang sekarat terlantar di jalanan. Para korban yang selamat pun terlantar di jalanan atau di puing-puing reruntuhan rumah mereka. Atau kalau mereka mampu mencapai rumah sakit, kebanyakan dari mereka juga akan terlantar karena jumlah dokter yang tidak memadai dibanding jumlah korban.

Jalan dipenuhi oleh reruntuhan rumah dan bangunan. Tiang-tiang kabel dan telepon juga ikut jatuh memenuhi jalan. Jika saja orang melewati sepuluh reruntuhan rumah, ia pasti mendengar suara orang-orang yang terkubur dan ditinggalkan dari dua atau tiga rumah yang dilewatinya. Kadang-kadang mereka berteriak dengan sopan, “Tasukete kure!” “Tolong selamatkan kami jika Anda berkenan!” Suara-suara itu sungguh menyayat hati. … Namun api sudah berkobar. Sudah terlambat untuk menolong mereka. ~ h. 51-52

Bom berkekuatan lebih dari 20.000 ton TNT itu juga berdampak buruk pada lingkungan. Dengan kekuatan ledakannya itu⎯yang juga 2.000 kali lebih kuat daripada Bom Grand Slam milik Inggris, bom terbesar yang pernah digunakan dalam sejarah peperangan⎯hampir seluruh bangunan yang ada di Hiroshima hancur. Tanaman-tanaman menjadi gundul. Bahkan beberapa hari setelah ledakan, bom ini juga memberikan efek aneh terhadap lingkungan.

Ledakan itu membuat batang-batang pohon menjadi gundul dan tiang-tiang telepon miring. Sementara itu, bangunan-bangunan yang masih berdiri hanya mempertajam kesan kehancuran di sekitarnya. … Di jalanan, lalu lintas terlihat mengerikan. Ratusan sepeda seakan-akan diremas oleh tangan raksasa. Trem-trem dan mobil-mobil hanya tinggal kerangka. Semua kendaraan seperti terhenti seketika. ~ h. 120-121

… Apa yang disaksikannya tetap membuatnya sangat ketakutan dan heran. Ada sesuatu yang membuatnya merinding. Di atas segala puing-puing itu, di sepanjang tepi sungai, di antara atap genting dan timah, merambat pada batang-batang pohon yang gosong, terhampar selimut hijau yang segar, jelas, subur, dan optimis. Kehijauan ini bahkan tumbuh dari pondasi rumah-rumah yang hancur. ~ h. 125

Keanehan juga hinggap pada korban-korban yang terluka. Gejala penyakit dan luka-luka yang mereka alami membuat para dokter kebingungan. Ada yang demam berhari-hari disertai sakit kepala dan gangguan pencernaan. Ada yang jumlah leukositnya naik turun tak menentu. Ada juga yang lukanya sembuh tapi terbuka kembali ketika tubuhnya digunakan untuk bergerak. ‘Penyakit baru’ yang sempat membingungkan para dokter ini akhirnya diketahui sebagai gejala dan akibat dari paparan radiasi bom atom. Setelah mengetahui hal ini warga Jepang disarankan untuk tidak mengunjungi Hiroshima untuk sementara waktu.

Buku ini sendiri memang buku sejarah, tapi tidak terlalu menonjolkan detail-detail sejarah. John Hersey lebih menekankan dampak-dampak dijatuhkannya bom atom terhadap lingkungan dan manusia di sekitarnya; dan penggunaan bom ini adalah sebuah kesalahan fatal dalam sejarah kemanusiaan. Hal ini membuat kita dituntut untuk lebih mengandalkan kepekaan dan rasa sebagai manusia dalam membaca buku ini. Apalagi semua itu ditulis berdasarkan sudut pandang korban. Dan dengan gaya penulisan seperti sebuah cerita fiksi, buku menjadi lebih menarik untuk diikuti dibanding buku-buku sejarah pada umumnya.

Lewat karyanya ini, John Hersey telah menunaikan tugasnya sebagai jurnalis agar kita bisa menilai sendiri tentang layak tidaknya senjata nuklir digunakan dalam peperangan.


Sumber: https://pustakaide.wordpress.com/2013/12/17/review-hiroshima-karya-john-hersey/

Komentar (0)


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Bidang yang harus diisi ditandai *