Hatta dan Koperasi

David Reeve

Sebagai ketua perhimpunan pelajar Indonesia di Belanda pada 1926, Mohammad Hatta sangat terlibat dalam perencanaan partai nasionalis baru (PNI) yang dibentuk pada 1927 di Indonesia, lihat Ingleson, op. cit., hlm. 39–52, 64–71, 84–97.  

Setelah pembubaran partai tersebut pada 1930, muncullah dua partai penerus, Partindo dan PNI Baru, yang keduanya mengaku mewakili ideologi nasionalis PNI. Mengenai pembahasan persaingan ini, lihat Dahm, op. cit., hlm. 127–145, 158–166; Ingleson, op. cit., Bab 7; Legge, op. cit., Bab 5.

Cukup banyak terjadi ketegangan antara keduanya. Sukarno berupaya menyatukan kedua partai itu setelah dia dibebaskan dari penjara, dan ketika kelihatan jelas bahwa usahanya tidak akan berhasil kemudian dia bergabung dengan Partindo.

Selain perbedaan metode dan program, ada yang menganggap bahwa PNI Baru yang dipimpin Hatta dan Syahrir melakukan kritik yang lebih tajam terhadap situasi kolonial, analisis kelas dalam masyarakat kolonial yang lebih sempurna dan komitmen yang lebih jelas kepada transformasi sosial setelah kemerdekaan. Ingleson, op. cit., terutama hlm. 352–364, 395–402.  

Tentang rekonstruksi sosial setelah kemerdekaan, sejak pertengahan dekade 1920- an Hatta telah mengembangkan serangkaian ide politik yang dirangkum menjadi “kedaulatan rakyat” dan “kolektivisme”. Baik Hatta maupun Sukarno menggunakan kata “kolektivisme” tetapi Hatta menampilkan bentuk kolektivisme tertentu yang berkedudukan sebagai pelengkap dan kontras dengan ide-ide Dewantoro, Supomo dan Sukarno.

Walaupun kritik Hatta terhadap kondisi masyarakat Hindia Timur Belanda menggunakan analisis marxis atas kapitalisme dan imperialisme, rencananya untuk pembangunan masyarakat Indonesia masa depan merujuk pada gabungan antara sistem demokrasi parlementer Barat dan penggunaan prinsip demokrasi pribumi desa, dan dalam bidang ekonomi, “pergaulan kolektivisme … masih tinggal jadi darah daging kaum tani”, lihat Hatta, Karangan I, 1933, hlm. 131.  

Dia dapat melihat perlunya kekerasan untuk menggulingkan kekuasaan Belanda terhadap Indonesia tetapi rencananya untuk masa depan menekankan pembangunan dan kontrol yang teratur. Ingleson menunjukkan rasa takut Hatta terhadap “anarki”, lihat Ingleson, op. cit., hlm. 398–399.

Walaupun menolak filosofi politik yang diwakili oleh Dewantoro, Supomo dan Sukarno, Hatta menyediakan cetak biru perekonomian untuk mengorganisasi sebuah negara kolektivis dengan visinya bagi ekonomi masa depan sebagai sebuah jaringan nasional yang sangat luas yang terdiri dari koperasi, produksi, konsumsi, distribusi, pertanian dan industri. Visi itu, yang dirangkum sebagai “asas kekeluargaan”, didukung oleh Sukarno dan Supomo pada 1945 dan dimasukkan dalam Undang- Undang Dasar 1945, Lihat Bab II David Reeve dalam bukunya Golkar: Sejarah Yang Hilang, Akar Pemikiran & Dinamika

Salah satu dari sekian banyak penghormatan yang diberikan kepada Hatta adalah gelar “Bapak Koperasi” di Indonesia walaupun kegagalan koperasi untuk mencapai kesuksesan yang lebih besar telah mengaburkan peran penting koperasi dalam pemikiran politiknya sebelum dan sesudah kemerdekaan. Dia mendapat gelar tersebut dalam konferensi koperasi pada Juli 1953. Untuk perhatiannya terhadap koperasi sejak 1950–1971, lihat dua kumpulan pidatonya dari tahun-tahun tersebut: Hatta, The Cooperatives Movement in Indonesia, Ithaca, 1957, dan Hatta, Membangun Kooperasi dan Kooperasi Membangun, Jakarta, 1971, selanjutnya masing-masing disebut Movement dan Kooperasi.

Deliar Noer menyebutkan tiga sumber sosialisme Hatta: “Islam, kolektivisme tradisional Indonesia dan sosialisme demokratis Barat”, dalam Hatta, Portrait of a Patriot: Selected Writings by Mohammad Hatta, Den Haag, 1972, hlm. 8 (selanjutnya disebut Patriot).

Sama seperti Sukarno, Hatta menolak “tiruan dari demokrasi Barat”, demokrasi yang bersandar “di atas dasar individualisme”, dalam Hatta, Karangan I, hlm. 99, 108 dan lihat 1932, hlm. 99–118, 123–129 untuk pernyataan lengkapnya, tetapi lain dengan Sukarno, dia tidak menolak bentuk pemerintahan Barat. Dia menerima model Barat di mana pemerintah dilihat sebagai pelaksana langkah-langkah yang diputuskan dan disahkan lembaga perwakilan yang dipilih oleh rakyat.

Daripada mengutamakan kepemimpinan yang kuat, ia menekankan tanggungjawab kabinet kepada parlemen dan kekuasaan parlemen untuk menggulingkan pemerintah melalui mosi tidak percaya atau melalui penolakan anggaran.

Menurut Hatta, prinsip yang baik itu telah disalahgunakan di Barat karena kegagalan parlemen di Barat untuk mengendalikan kehidupan sosial dan ekonomi negara, karena bidang-bidang tersebut tetap dikuasai otokrasi kapitalis, Paragraf ini didasarkan pada ibid., hlm. 101–111. Keadaan itu terjadi karena munculnya individualisme dan pemerintahan parlementer secara bersamaan sejak paruh kedua abad ke-18:

Semangat individualisme memajukan politik liberalisme dan liberalisme memperkuat roh kapitalisme. Ibid., 1932, hlm. 108.

… demokrasi Barat … tiada membawa kemerdekaan rakyat yang sebenarnya, melainkan menimbulkan kekuasaan kapitalisme. Ibid., hlm. 111.

Hatta membedakan “Barat yang bersifat individualis-kapitalisme” dan “Timur yang berdasar komunalisme”, ibid., 1930, hlm. 83.  

Dia melihat kemunculan prinsip “demokrasi asli di Indonesia”, ibid., 1932, hlm. 113, 123–129, yang sebelumnya hanya dapat ditemukan di desa tetapi mampu diterapkan di tingkat nasional.

Prinsip-prinsip itu, yang diwujudkan melalui sistem parlementer dan ekonomi berbasis koperasi, akan memperbaiki pelaksanaan sistem yang berjalan tidak sempurna di Barat—“jangan di-adopteren [diadopsi], melainkan di-adapteren [diadaptasi]”, Ibid., hlm. 124.

Pada masa lalu di tingkat pemerintahan dia atas desa berlangsung otokrasi sempurna tetapi di desa itu sendiri Hatta melihat tiga sifat. Pertama, asas “rapat”, di mana masyarakat bermusyawarah dan memufakati segala urusan yang berkaitan dengan persekutuan hidup dan keperluan bersama. Kedua, asas protes massa, yaitu hak masyarakat untuk membantah segala peraturan negara yang dipandang tidak adil. Ketiga, asas tolong-menolong, rasa bersama dan kolektivisme, Ibid., hlm. 112–115.

Hatta mengutip van Vollenhoven untuk mendukung argumentasinya tetapi dengan penekanan yang sangat berbeda dengan tokoh yang pemikirannya diuraikan di atas. Dia menekankan protes massa dan hak-hak asasi seperti merdeka bersuara, berserikat dan berkumpul, Hatta, Patriot, 1928, hlm. 287,297 catatan kaki no. 115; Karangan I, 1932, hlm. 113, 116.  

Dia menyatakan bahwa kedua sendi pertama kehidupan desa dapat digunakan sebagai prinsip-prinsip dasar untuk sebuah pemerintahan nasional yang akan tunduk pada kemauan rakyat yang diungkapkan melalui badan-badan perwakilan. Sendi yang ketiga harus menjadi tonggak demokrasi ekonomi. Semua perusahaan produksi penting yang menyentuh kehidupan orang banyak akan menjadi milik rakyat dan berada di bawah pengawasan rakyat melalui badan-badan perwakilan, dalam Hatta, Karangan I, hlm. 115–117.

Kolektivisme Hatta akan diwujudkan melalui sistem ekonomi masa depan. Dia berharap akan melihat kebangkitan dan perluasan praktik  di desa-desa di mana “orang desa masih menyangka dirinya sebagai anggota dari kaum”, Ibid., 1933, hlm. 138 dan lihat juga hlm. 138–144 untuk ide-ide yang mendasari paragraf ini.  

Semangat tersebut bagi Hatta diwujudkan dalam kepemilikan tanah bersama dan praktik tolong-menolong. Tetapi menurut dia, “kolektivisme tua” itu tidak memadai untuk cakupan dan tuntutan negara-bangsa. Selama berabad-abad kolektivisme telah menjadi pincang. Dia menjelaskan bahwa dulu tanah dimiliki oleh desa dan dibagi secara adil kepada penduduk desa yang memenuhi syarat untuk memanfaatkannya.

Kadang-kadang tanah tersebut dibagi kembali secara berkala, atau dikembalikan kepada desa karena tidak lagi dimanfaatkan. Tekanan penduduk telah sangat membebani sistem itu tetapi kelemahannya yang mendasar adalah “kolektivisme … disilangi oleh sistem individual”, Ibid., 1933, hlm. 142. karena tanah telah dibagi kepada individu sebagai unit produksi dasar.

Usaha bersama untuk membangun rumah dan menanam padi cenderung menjadi ungkapan solidaritas desa dan bukan sistem kepemilikan dan pertanian bersama yang asli. Prinsip kepemilikan desa yang lebih tua harus diselamatkan dan dibangkitkan melalui pertanian kolektif yang semakin dibutuhkan pada abad ke-20 karena adanya inovasi-inovasi seperti mesin dan traktor.

Sarananya adalah pembentukan dan perluasan koperasi secara bertahap dimulai dengan koperasi produksi dan kemudian meluas hingga distribusi dan pemasaran, untuk merebut kembali penguasaan hasil petani dari tangan asing.

Pembangunan jaringan koperasi nasional secara bertahap adalah unsur mendasar dalam sikap politik non-kooperatif Hatta terhadap Belanda dan merupakan aspek ekonomi pembangunan “negara di dalam negara”, yang kemudian menjadi dasar kekuatan untuk mendesak Belanda agar kemerdekaan diberikan, atau kalau perlu, untuk merebutnya. Koperasi juga menjadi unsur penting untuk membangkitkan kembali perekonomian Indonesia yang mengalami tekanan akibat kapitalisme yang merusak, sebelum dan sesudah kemerdekaan, lihat Hatta, Patriot, 1926, hlm. 53; Ingleson, op. cit., hlm. 44, 354, 399.

Hingga dekade 1920-an, sudah sekitar 50 tahun pemerintah Hindia Timur Belanda menaruh perhatian pada koperasi dan organisasi kredit pertanian. Sebagian besar pergerakan politik juga tertarik memajukannya. Tentang pandangan Hatta terhadap keterlibatan awal orang Indonesia dalam koperasi, lihat Hatta, Kooperasi, hlm. 202, 204, 332; Movement, hlm. xxii-xxiv. Lihat juga Kahin, op. cit., hlm. 95; McVey, op. cit., hlm. 34, 42–48; Nagazumi, op. cit., hlm. 169, 124; Noer, The Modernist Muslim Movement in Indonesia, hlm. 115; van Niel, op. cit., hlm. 245–246.

Pada pertengahan dekade 1920-an, anggota-anggota perhimpunan pelajar di Belanda sangat terkesan dengan kesuksesan sistem koperasi di Denmark, lihat Hatta, Patriot, 1928, hlm. 270; Ingleson, op. cit., hlm. 41. Pada 1926, rencana perhimpunan itu termasuk “memajukan pertanian dan bank pinjaman untuk rakyat” dan “memajukan industri nasional berdasarkan koperasi”, dalam Hatta, Patriot, 1928, hlm. 277; Ingleson, op. cit., hlm. 65.

Hatta membayangkan bahwa koperasi-koperasi lokal akan tumbuh menjadi unit-unit yang lebih besar, koperasi petani menjadi koperasi desa, koperasi yang berdasarkan keahlian menjadi koperasi industri dan koperasi kredit menjadi bank koperasi, lihat Hatta, Kooperasi, 1951, hlm. 11; 1946, 181, 188.  

Pada 1946 dia menjelaskan, “Menurut arahnya, dasar perekonomian di masa datang akan semakin jauh daripada dasar individualisme dan semakin dekat kepada kolektivisme, yaitu sama sejahtera. Memang kolektivismelah yang sesuai dengan cita-cita hidup Indonesia”, ibid., 1946, hlm. 179–180. Kolektivisme itu harus diperkuat melalui koperasi, ibid., hlm. 180.

Dalam bidang politik, PNI Baru di bawah Hatta dan Syahrir memprioritaskan penyuluhan bagi sejumlah kecil kader yang sadar dan kritis, bukan bagi seluruh massa pengikut. Para anggotanya harus disadarkan akan hak mereka dan nilai dirinya sendiri terutama agar mereka tidak dimanipulasi golongan intelektual atau bangsawan, lihat Ingleson, op. cit., hlm. 318–325, 358–359, 375–379.  Serupa dengan itu, keterlibatan dalam koperasi dibayangkan sebagai cara mengembangkan semangat demokrasi yang sehat, karena setiap anggota bertanggungjawab dalam menentukan kebijakan.

Sebagaimana dinyatakan oleh Hatta secara panjang-lebar pada dekade 1950-an, sisi bahaya dalam solidaritas desa adalah “kekangan tradisi”, lihat Hatta, Movement, hlm. 4. Solidaritas itu dapat menekan “individualitas” yang dibutuhkan untuk kegiatan ekonomi.

Di kemudian hari dia mengembangkan teori “individualitas”, rasa harga diri, kemampuan dan berusaha keras “yang tidak boleh disalahartikan dengan individualisme”, dalam Hatta, Patriot, 1955, hlm 544, tetapi “menghargai pribadi manusia sebagai makhluk Allah yang bertanggungjawab atas keselamatan keluarga dan masyarakat seluruhnya”, lihatHatta, Kooperasi, 1969, hlm. 159. Manfaat koperasi adalah untuk melatih “individu untuk bekerja demi kebutuhan bersama tanpa menekan individu hanya menjadi alat kebersamaan”, lihat Hatta, Patriot, hlm. 544.

Kekhawatiran pada kolektivisme yang merangkul semuanya pun terlihat dalam pemikirannya tentang partai politik. Menurut PNI Baru, persaingan antara partai-partai dan ideologi-ideologi yang berbeda dapat berfungsi sebagai pendidikan yang konstruktif, lihat Ingleson, op. cit., hlm. 356–357.

Walaupun Hatta menyetujui perlunya persatuan semua kekuatan politik Indonesia untuk meraih kemerdekaan, dia menyesalkan persatuan yang mencakup segala, persatuan yang merangkul segala, yang diinginkan Partindo.

“Di dalam pengakuan bangsa yang satu itu boleh terdapat pelbagai paham politik. Dan tiap-tiap aliran paham haruslah mendapat kesempatan bergerak, untuk membuat propaganda bagi asas sendiri”, lihat Hatta, Karangan I, 1932, hlm. 230 dan hlm. 229–232; 1933, 233–237; Ingleson, op. cit., hlm. 359–360.

Pada 1945 Hatta dan Syahrir membela dukungan mereka terhadap pembentukan partai-partai dengan berargumentasi bahwa ada banyak orientasi ideologi di dalam masyarakat, untuk uraian ini lihat Bab II David Reeve dalam bukunya Golkar: Sejarah Yang Hilang, Akar Pemikiran & Dinamika

Karena Indonesia itu beragam, Hatta menyatakan bahwa dia lebih memilih negara federal pada masa depan yang sangat terdesentralisasi, dengan setiap desa, daerah, wilayah dan golongan memiliki badan perwakilan sendiri dan “otonomi yang sempurna dan hidup”, lihat Hatta, Karangan I, 1932, hlm. 117.

Tiap-tiap wilayah dan golongan harus bebas mengatur urusan sendiri asal keputusannya tidak bertentangan dengan dasar-dasar pemerintahan umum yang ditetapkan badan perwakilan yang lebih tinggi dalam struktur piramida besar badan perwakilan dari pusat hingga desa.

Keanekaragaman organisasi politik dengan desentralisasi itu akan memungkinkan “tiap-tiap golongan, kecil atau besar” untuk “mengatur pemerintahan sendiri menurut keperluan dan keyakinan sendiri”, lihat Hatta, Karangan I, 1932, hlm. 117. Perekonomian juga akan didesentralisasi melalui koperasi. “Jadinya Indonesia ibarat satu taman berisi pohon-pohon kooperasi yang buahnya dipungut oleh rakyat yang banyak”, lihat Hatta, Karangan I, 1932, hlm. 117

Dalam kekolektifan yang egaliter ini, dengan kelompok politiknya yang beragam serta struktur politik dan ekonominya yang terdesentralisasi, hampir tidak ada tempat untuk perjuangan kelas. “Dalam demokrasi tidak ada revolusi karena rakyat memerintah diri sendiri.” lihat Hatta, Karangan I, 1932, hlm. 100. Pada 1932 Hatta menarik garis antara marxisme dan sosialisme “religius”.

“Marx menunjukkan dengan jalan ilmu, bahwa sosialisme akan datang sendirinya karena perubahan masyarakat yang dipengaruhi oleh pertentangan kelas. … Bagi kita orang Islam yang ta’at kepada perintah Allah, sosialisme itu harus timbul atas kemauan kita sebagai suruhan agama.” lihat Hatta, Karangan I, 1932, hlm. 9. Pada 1946 dia menjelaskan bahwa harus ada “demokrasi” bagi kaum buruh di perusahaan tetapi jangan menjadi “sindikalisme”, lihat Hatta, Kooperasi, 1946, hlm. 198.

Kaum buruh dapat mempengaruhi pemerintah melalui badan-badan perwakilan dan berdialog dengan manajemen tetapi buruh sebaiknya tidak berupaya untuk memerintah sendiri. Buruh akan menjadi bagian dari kolektivitas, sehingga “tidak ada perbedaan antara mereka yang memimpin pekerjaan dan buruh”, lihat Hatta, Kooperasi, 1946, hlm. 198.

 Pemerintah akan menyediakan pimpinan dan pengawasan untuk setiap perusahaan. Tekanan ini semakin terlihat pada dekade 1950-an:

Dalam gerakan koperasi pada dasarnya tidak ada perjuangan kelas karena koperasi adalah bentuk kerjasama di antara rakyat dengan kepentingan dan tujuan serupa, lihat dalam Hatta, Patriot, 1955, hlm. 537.

Ketika perusahaan industri dijalankan berdasarkan prinsip koperasi, perjuangan kelas menjadi asing baginya, lihat dalam Hatta, Patriot, 1955, hlm. 538.

Hatta mendukung definisi Renan bahwa bangsa adalah “jiwa”, “asas spiritual”, “kesadaran bersatu sebagai kelompok spiritual”. lihat dalam Hatta, Patriot, 1955, hlm. 263.

Dalam konsep Hatta mengenai “kelompok spiritual” mengenai kolektivisme, rakyat akan mendapatkan perlindungan terbesar atas kebebasan mereka, bukan sebagai hak yang berdasarkan teori individualisme dan liberalisme tetapi sebagai kebebasan yang wajar bagi manusia yang sadar, yang menyadari nilai mereka sendiri, didasarkan pada “perasaan keadilan dan kebenaran yang hidup dalam hati rakyat”, lihat dalam Hatta, Karangan I, 1932, hlm. 99, 116.

Rencana Hatta untuk perekonomian yang berdasarkan koperasi diterima oleh partai-partai nasionalis dan dimasukkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 sebagai “asas kekeluargaan”. Sukarno menyatakan pada saat itu bahwa hal itu menandakan “kolektivisme”, namun lembaga politik yang dianggap Hatta sebagai bagian dari kolektivisme ditolak Sukarno dan Supomo karena dianggap tidak tepat.


Dikutip dengan seizin penerbit Komunitas Bambu dari buku David Reeve, Golkar: Sejarah Yang Hilang, Akar Pemikiran & Dinamika, Bab I ‘Kolektivisme’ dan ‘Asas Kekeluargaan’, hlm. 40-46. Bukunya tersedia juga di Tokopedia, Shopee atau kontak langsung ke WA 081385430505

Komentar (0)


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Bidang yang harus diisi ditandai *