Dinamika Masyarakat Desa Zaman Penjajahan Jepang

Jika kita mendengar zaman pendudukan Jepang di Indonesia, yang terlintas sudah pasti tentang kekejaman dan penindasan tiada tara. Bahkan, ada yang menyebut bahwa penjajahan Jepang yang berlangsung selama tiga tahun (1942—1945), lebih kejam dari zaman penjajahan kolonial Belanda yang berlangsung selama ratusan tahun.

Aiko Kurasawa, penulis buku yang notabene warga negara Jepang, tak menampik anggapan tersebut. Namun, kekejaman yang dilakukan oleh Jepang berlangsung secara bertahap. Oleh sebab itu, pada awal buku ini dibahas bagaimana Jepang melakukan transformasi di bidang pertanian. Jepang memilih pedesaan untuk menunjang kebutuhan perangnya.

Awalnya, Jepang frustasi dengan rendahnya produktivitas beras di Jawa. Jepang sendiri menjadi produsen dengan teknologi maju dan memiliki banyak ahli yang berpengalaman. Oleh sebab itu, Jepang bernafsu untuk memindahkan teknologi serta pengetahuan mereka kepada petani jawa (hlm.7). Langkah pertama yang dilakukan Jepang ialah mendidik atau melatih perantara penyebar dan gagasan teknik pertanian Jepang. Tak hanya itu, Jepang juga mengenalkan jenis tanaman baru yang wajib ditanam oleh penduduk pribumi seperti kapas dan jarak.

Namun, program untuk meningkatkan semua produktivitas itu mengalami kegagalan. Salah satu penyebabnya adalah pelatih sistem pertanian di Jepang tidak menguasai medan di jaa dan memilih untuk bersantai. “..saya terbiasa menyabot pekerjaan saya, saya pikir lucu kalau saya yang tidak memiliki pengalaman di Jawa dan tidak tahu apa-apa tentang pertanian Jawa harus memberi tahu petani yang telah bertahun-tahun hidup di Jawa….. saya santai saja dan menghabiskan waktu dengan memancing..” (hlm.34). kegagalan tersebut mengakibatkan masyarakat desa semakin sengsara, mereka kelaparan dan tak memiliki baju. Banyak diantara mereka yang mati kelaparan.

Kemudian, hal yang tak bisa dilepaskan dari zaman pendudukan Jepang ialah Romusha. Mereka umumnya petani biasa, yang di luar kehendak mereka, diperintahkan supaya bekerja pada proyek-proyek pembangunan dan pabrik. Jutaan orang Jawa dimobilisasikan dengan cara ini dan tidak sedikit yang di kirim ke luar negeri. Para Romusha banyak yang meningggal akibat kerja keras dan kondisi kesehatan yang buruk (hal.131).

Jawa merupakan daerah yang menyerahkan romusha paling banyak. Hal ini disebabkan, kepadatan penduduk yang sangat tinggi serta surplus tenaga kerja, dengan demikian Jawa memberikan sumber tenaga yang paling penting bagi Jepang selama pendudukannya di Asia Tenggara. Untuk menarik petani agar bersedia menjadi Romusha, Jepang melakukan propaganda dengan menyebarkan foto Soekarno menjadi Romusha (hlm.176).

Setelah itu, Jepang membuat Tonarigumi (Rukun Tetanga). Tonarigumi bertindak sebagai sarana efektif dalam melakukan kontrol atas penduduk (hlm.212). Tak hanya itu, Jepang pun membuat Kumiai. Kumiai bertindak sebagai unit dasar untuk memanipulasi seluruh struktur perekonomian yang dikendalikan semasa perang (hlm.228). Kedua lembaga ini menyebar dengan pesat di seluruh Jawa. Sistem Tonarigumi diterapkan oleh Indonesia hingga kini. Bahkan, pada masa pemerintahan Soeharto, tonarigumi atau rukun tetangga difungsikan sama seperti zaman penjajahan Jepang, yakni sebagai alat kontrol penguasa.

Penderitaan serta kontrol yang terus menerus dialami masyarakat desa terutama petani, membuat masyarakat desa marah. Mereka melancarkan berbagai perlawanan di berbagai daerah terhadap Jepang, seperti di daerah Tasikmalaya dan Indramayu.

Buku yang terdiri dari 10 Bab yang terbagi dalam tiga bagian ini menarik untuk dibaca. Sebab, penulis menghadirkan Romusha atau orang-orang kecil sebagai narasumber utama, hal ini cukup jarang dilakukan dalam historiografi Indonesia. Selain itu, pembaca dapat mengkontekstualkan masalah masyarakat desa saat ini.

Ketimpangan dan kurangnya perhatian dari pemerintah pusat membuat masyarakat desa lebih memilih “melawan” dengan pindah ke kota atau menjadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di luar negeri. Untuk itu sudah saatnya pemerintah lebih memperhatikan desa, terlebih dengan adanya UU No.6 Tahun 2014 tentang Desa. Dalam sebuah diskusi, Aiko mengatakan, “perekonomian Jepang bisa maju seperti sekarang ini, dimulai dari membangun perekonomian desa terlebih dahulu.”


Sumber: https://www.academia.edu/20270377/Dinamika_Desa_Zaman_Jepang

Komentar (0)


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Bidang yang harus diisi ditandai *