Di Batavia, Air Bersih Susah
Berita soal air minum kemasan yang bikin sakit perut atau malah keracunan karena ternyata palsu—diisi air mentah—sudah sering terdengar. Bicara soal air, kisah Tio Tek Hong mengingatkan warga Jakarta bahwa pernah ada sumur dengan air jernih di Waterlooplein (Lapangan Banteng).
Ia menulis, orang Tionghoa suka mengambil air di sumur itu. “Cocok dan baik untuk menyeduh teh,” katanya. Bahkan, ahli teh menggunakan air itu untuk mengetahui mana teh yang baik dan yang tidak. Keperluan akan air jernih begitu mendesak, sementara air leding belum ada, maka air yang berasal dari sumur di Waterlooplein pun laris.
Demikian pula di Tanah Abang, yaitu di Kampung Lima (Jalan Asem Lama) ada sumur di pekarangan rumah. Meski harus bayar f 1,50 per tahang (tong), warga pun rela. Air dari sumur ini diedarkan keliling menggunakan gerobak.
Tio Tek Hong adalah pria Tionghoa peranakan kelahiran 1870-an di Pasar Baru. Penjual plaatgramafoon, alat untuk memainkan musik, ini juga menuliskan bahwa air minum yang dulu umum di Batavia adalah dari air hujan yang disimpan di tempayan besar atau air kali yang dijual secara pikulan seharga satu sen sepikul (dua kaleng minyak tanah).
Dalam buku Keadaan Jakarta Tempo Doeloe: Sebuah Kenangan 1882-1959, Tio juga menyebutkan, ada air minum yang bersumber dari sumur lain, yaitu sumur bor (artesis). “Tidak banyak orang suka air ini, rasanya tidak enak dan bila dipakai menyeduh teh, air teh jadi hitam,” ujarnya. Jadi, warga Batavia tetap memilih menggunakan air kali. Saringan batu kapur menjadi alat saring air kali sebelum digunakan. Tentu yang mampu menggunakan saringan itu hanya mereka yang mampu secara finansial.
Masalah air bersih untuk minum sebenarnya sudah terjadi sejak awal Batavia, sejak abad ke-17. Persoalannya, Batavia dibangun di atas rawa sehingga kondisi airnya buruk. Di tahun 1843, Pemerintah Belanda selesai membuat sumur artesis pertama di Prince Frederik Citadel. Lokasi itu kini ada di sekitar Masjid Istiqlal. Dalam kurun 30 tahun kemudian, dibikin lagi enam sumur sejenis. Termasuk yang ada di sisi utara Koningsplein (Medan Merdeka).
Scott Merrillees dalam Batavia in Nineteenth Century Photograph memperlihatkan gambar sumur artesis itu dengan jelas. Sumur itu dibikin begitu artistik dengan patung-patung di bagian kolom-kolom bangunan itu. Maka, bangunan ini pun jadi salah satu ikon Batavia kala itu. Air dari sumur ini menghidupi warga di Meester Cornelis (Jatinegara) dan seluruh Batavia, gratis pula. Pipa air mengalir hingga 90 km ke rumah-rumah warga, khususnya warga Eropa. Pasalnya, banyak warga Batavia tak suka cita rasa air sumur artesis.
Sekitar akhir 1920, sudah ada 50 sumur artesis di Batavia. Kedalamannya beragam, dari 100 m hingga 395 m. Namun, lama-kelamaan warga yang biasa menggunakan air sumur artesis ini juga menemukan bahwa air berubah warna menjadi kuning dan kualitas air yang juga menurun. Ini terjadi setelah penduduk Batavia meningkat, tentunya.
Akhirnya, pada Oktober 1918, Kotapraja Batavia memutuskan membangun saluran air minum baru yang sumbernya diambil dari Ciomas, Bogor, di kaki Gunung Salak. Hal itu diputuskan setelah terbentuk Perusahaan Air Minum (PAM). Pembangunan ini dimulai tahun 1920 dan diresmikan November 1922.
Yang pasti, jejak sumur-sumur itu kini sudah tak bisa ditemukan di atas tanah. Sumur artesis yang kemudian dibangun begitu indah pun lenyap bekasnya. Masalah air kini, dengan bertumpuknya orang di pulau Jawa, khususnya Jakarta, tentu perlu penataan yang ketat agar air di Jakarta tetap terpelihara kualitas dan kuantitasnya.
Sumber: https://tekno.kompas.com/read/2009/05/29/13210193/di.batavia.air.bersih.susah.
Comments (0)