Di balik peristiwa 1926/27
Rabu malam, saya mendapat SMS undangan acara perbincangan dengan Ben Anderson, untuk keesokan harinya, Kamis, jam 13.00-17.00 di aula Hallo Surabaya di jalan Bubutan. Sedikit heran: bincang-bincang apa, dan kenapa mendadak sekali? Baru keesokan paginya saya mendapat informasi lebih lanjut (via SMS lagi), bahwa Oom Ben datang sebagai narasumber peluncuran dan bedah buku Kemunculan Komunisme Indonesia, karya klasik Ruth T. McVey, yang versi Indonesianya baru saja diterbitkan oleh Komunitas Bambu Januari lalu.
Tepat jam 13.00 saya datang dan melihat ruangan masih sepi, meskipun kursi-kursi dan sarana kopi, teh dan kue sudah rapi tertata. Beberapa anggota panitia menggelar beberapa kopi Kemunculan Komunisme Indonesia dan buku-buku Komunitas Bambu lainnya. Sekitar jam 14.00, kedua narasumber, Ben Anderson dan Airlangga Pribadi datang, begitu pula kursi pengunjung pun mulai terisi (mungkin kira-kira sekitar 60 orang). Setelah panitia menyampaikan kata-kata penyambutan, dimoderatori oleh Aryo, Airlangga memberi sedikit pengantar mengenai buku tersebut.
Menurut dosen FISIP Unair dan koordinator Serikat Dosen Progresif ini, Kemunculan Komunisme Indonesia dibuat dengan ketekunan yang luar biasa, memberi kita data-data yang sangat berharga mengenai bagaimana komunisme pertama muncul di Indonesia. Menjelajahi informasi-informasi sampai ke posko-posko Belanda, buku ini menguraikan proses penerjemahan dan kontekstualisasi komunisme di Indonesia, bagaimana komintern bahkan memfokuskan Islam sebagai salah satu fokus penyebaran komunisme, bagaimana paham komunisme bisa menyebar di kalangan-kalangan rakyat biasa, orang-orang yang belum bisa membaca-tulis, ataupun religius (meskipun tak ayal kemudian muncul ketegangan antara pergerakan pan-Islam dan komunisme). Di sini menarik juga pengaruh kejawen dalam penyebarannya (mungkin sebagai contoh bisa kita lihat di karya Tan Malaka, Dari Penjara ke Penjara).
Konsep komunisme, menurut McVey, berasal dari luar, meskipun ada banyak kesejajaran dengan misalnya Islam dan Saminisme, sehingga bibit-bibitnya pun dapat tersemaikan dengan subur saat itu. Daya tariknya adalah, komunisme bisa tampil sebagai “Ratu Adil” dalam kemasan sistem yang dapat diperjuangkan bersama, bukan dalam figur personifikasi.
Lalu bagaimana seseorang bisa menjadi Islam, kejawen sekaligus komunis? Menurut Airlangga, komunisme adalah perangkat metode untuk perlawanan dan perubahan, bukan sesuatu untuk dikonversikan dengan agama atau spiritualitas. Konsep dari luar ini tentunya mengalami proses penerjemahan, kontekstualisasi, bahkan perlawanan dari figur-figur yang merasa Internationale tidak mengerti konteks lokal. Sebagai contoh, proposal Prambanan tidak mendapat pengesahan dari Comintern, juga ditentang oleh oleh Tan Malaka karena Tan Malaka merasa pemberontakan itu terlalu dini dan tidak mempunyai dukungan yang kuat dari pemerintah maupun populasi yang basis ekonominya variatif seperti Indonesia.
Sayangnya, karya McVey yang sangat komprehensif ini terlalu berkonsentrasi di Jawa, dan kurang menyorot kegiatan-kegiatan komunisme di tempat-tempat lain yang cukup penting seperti Sumatra atau Bali (lebih terbatas ke figur-figur). Ben mengingatkan sekali lagi bahwa karya ini adalah karya lama, terjemahan dalam bahasa Indonesianya memang baru diterbitkan 45 tahun kemudian. (Edisi aslinya diterbitkan dalam bahasa Inggris oleh Cornell University Press di tahun 1965.) Buku ini tidak hanya berisi pujian-pujian terhadap komunisme di Indonesia, tapi juga potret proses, termasuk kegagalan-kegagalan, pembentukan komunisme di Indonesia, yang dijabarkan dengan gamblang tanpa sentimentalisme yang berlebihan.
Mungkin jika ditulis kajian tentang buku ini, bisa menghasilkan karya yang jauh lebih tebal lagi – kapan akan muncul revisi terhadapnya? Memperhatikan pengunjung diskusi yang berusia 20-an akhir ke atas, Ben juga berkomentar bagaimana tokoh-tokoh seperti Tan Malaka, Semaun, sudah terjun dalam politik di usia muda mereka (awal 20 tahun, bahkan lebih muda), mungkin ini hasil “penjinakan” (kata) “remaja” yang terjadi semenjak orde baru?
Terima kasih kepada panitia yang telah mengusahakan acara ini, semoga lain kali bisa mengundang lebih banyak pengunjung. (Saya tidak terlalu mengerti siapa penyelenggara acara ini, kalau menilik backdropnya, tertera Komunitas Bambu, LaKSMI dan KTIPP.) Saya menghargai usaha pengadaan acara-acara seperti ini, sekaligus karena saya juga menyukai buku-buku sejarah, budaya dan sastra yang diterbitkan Komunitas Bambu. Sayang sekali memang di Surabaya buku-buku dan diskusi-diskusi seperti ini masih susah didapat.
Untuk acara ini Kemunculan Komunisme Indonesia dijual dengan harga Rp.160.000, diskon dari harga aslinya Rp. 198.000. Semoga versi yang lebih murah – softcover atau paperback – akan diterbitkan. Saya masih belum dapat memiliki buku ini, sementara versi bahasa Inggrisnya sudah lama sekali saya baca. Mohon maaf atas semua kesalahan dalam catatan ini – silahkan dikoreksi, semoga berguna.
Sumber: https://c2o-library.net/2010/03/di-balik-peristiwa-192627/
Kathleen Azali
Direktur Perpustakaan C2O
Pembicara : Benedict Anderson & Airlangga Pribadi
Moderator : Aryo
Waktu : Kamis, 25 Februari 2010, 14.00-16.00
Lokasi : Aula Lt.2 Hallo Surabaya, Jl. Bubutan no. 95
Comments (0)