Derita Revolusi: Garis Van Mook, Derita RI, dan Pilih Kasih Amerika

George McTurnan Kahin

Pada  4 Agustus 1947, Belanda tidak menarik pasukannya dari wilayah yang mereka duduki. Peringatan lunak dari Dewan Keamanan PBB tampaknya tidak dihiraukan oleh Belanda. Tepat 10 hari setelah resolusi itu dibuat, pasukan Belanda melanggar garis van Mook yang mereka buat sendiri dan menduduki sisa wilayah Madura yang masih dikuasai Republik.

Sekelompok wartawan asing mengunjungi Madura pada 27–28 November 1947 dan menyaksikan perbuatan Belanda. Laporan wartawan UP, Arnold Brackman, pada 27 November 1947 menyebutkan: “Sumenep, Madura, saya sedang bersandar pada pos pertahanan berdinding karung pasir Belanda di tengah kota ini, pada jarak 31 mil [kurang-lebih 50 km] dari garis demarkasi Madura. Bendera Belanda berkibar di jalan-jalan utama. Sumenep maupun lusinan kota dan desa di Madura bagian timur dikuasai secara militer oleh pasukan-pasukan Belanda pada 11 November 1947, yakni ketika tentara Belanda maupun marinir-marinirnya yang dilatih oleh Amerika menyeberangi garis demarkasi Pamekasan dalam rangka secara terang-terangan melanggar resolusi gencatan senjata.”

Indonesia merasa sangat terpukul karena mayoritas anggota Dewan Keamanan menolak memerintahkan Belanda mundur dari wilayah yang mereka rebut. Tak mau juga menawarkan diri sebagai penengah. Bahkan juga menolak untuk menundukkan Belanda dengan resolusi-resolusi lunak yang semula disepakati Belanda. Umumnya, penilaian Indonesia atas sikap para anggota Dewan Keamanan hampir sepenuhnya didasarkan pada pengetahuan mereka atas perdebatan dan pemungutan suara yang terjadi di dalam Dewan Keamanan.

Sejumlah orang menduga bahwa Menteri Luar Negeri Amerika, George Marshall sudah menjelaskan kepada van Mook yang sempat berkunjung ke Washington pada awal September 1947, bahwa Amerika sangat menentang rencananya untuk membabat habis sisa-sisa Republik Indonesia. Walaupun demikian, mereka juga percaya bahwa Amerika secara sadar menjalankan kebijakan yang mendukung Belanda dalam banyak hal.

Mencermati berbagai kejadian dalam Dewan Keamanan, orang Indonesia yakin bahwa Amerika mendukung Belanda dan bahwa Rusia merupakan anggota Dewan Keamanan yang paling gencar mendukung Republik. Selain itu, umumnya orang Indonesia merasa bahwa kampanye militer Belanda dalam melawan Republik Indonesia tidak akan dapat terlaksana tanpa perlengkapan militer dari Amerika dan Inggris. Setelah Agresi Militer Belanda, Amerika maupun Inggris tidak mau menjual senjata kepada Belanda untuk dipakai di Indonesia.

Sementara itu, banyak orang Indonesia terpelajar yang merasa bahwa ketergantungan Belanda kepada pinjaman dari Amerika untuk memperbaiki perekonomiannya seharusnya menempatkan Amerika dalam posisi lebih tinggi, sehingga ia dapat memaksa Belanda untuk menangguhkan operasi militernya di Indonesia kapan saja Amerika menghendaki. Perasaan tersebut juga dirasakan oleh perwakilan dua golongan politik di Indonesia, baik yang ekstrem kanan maupun ekstrem kiri.

Pernyataan resmi Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI)—saat itu belum dikuasai oleh Komunis—sebagaimana yang disiarkan pada 17 Oktober 1947 oleh radio Jogjakarta—menyebutkan bahwa alasan penolakan Belanda untuk mematuhi perintah Dewan Keamanan mengadakan gencatan senjata dapat dijelaskan melalui fakta bahwa “negara-negara Barat tertentu secara diam-diam menyuplai Belanda dengan perlengkapan perang agar dapat melanjutkan perang kolonial di Indonesia.”

Pernyataan tersebut selanjutnya berbunyi: “Harapan kita akan adanya penyelesaian damai di Indonesia luluhlantak karena tiga bulan setelah Amerika campurtangan, masih belum ada solusi untuk mengakhiri pertumpahan darah di bumi Indonesia. Tidak perlu disangsikan lagi bahwa bangsa Barat yang disebut-sebut beradab itu membenarkan agresi Belanda dan tidak punya itikad baik untuk mengakhiri keadaan buruk di Indonesia yang disebabkan oleh kehadiran pasukan Belanda.”

Sebagai penutup, lihat Antara (Kantor Berita Nasional), Jogjakarta, 17 Oktober 1950, pernyataan tersebut menuduh Amerika memberikan pinjaman kepada Belanda yang kemudian digunakan untuk “menekan kebangkitan nasional di Indonesia.”

Pada 12 November 1947, Wakil Menteri Perekonomian dan Ketua Partai Katolik Indonesia, Mr. Ignatius Joseph Kasimo Hendrowahyono, dalam pidatonya di depan parlemen Republik Indonesia berbicara tentang “Amerika Serikat yang jelas-jelas pilih kasih” terhadap Belanda dan menyatakan bahwa rakyat Indonesia tidak dapat mengerti alasan “negara-negara kuat tertentu secara terang-terangan memihak Belanda” dan “tidak mau mengakui hak rakyat Indonesia untuk merdeka dan menentukan nasib sendiri sebagaimana tercantum dalam Piagam Atlantik dan Piagam PBB,” begitu yang dinyatakan Antara, Jogjakarta, 12 November 1947.

Sementara itu, keadaan semakin memburuk bagi Republik Indonesia dan semakin menguntungkan bagi Belanda. Garis van Mook telah memisahkan Republik dari wilayah-wilayah pertanian paling subur di Jawa maupun Sumatera.


Dikutip dengan seizin penerbit Komunitas Bambu dari buku George McTurnan Kahin, Nasionalisme & Revolusi Indonesia, hlm. 314-317. Bukunya tersedia juga di Tokopedia, Shopee atau kontak langsung ke WA 081385430505.

Komentar (0)


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Bidang yang harus diisi ditandai *