Cengkeh, VOC, dan Nuku

Dalam historiografi Indonesia, zaman kolonial, khususnya era VOC, merupakan tema klasik yang paling sedikit diminati oleh para sejarawan Indonesia. Tidak heran jika kajian sejarah tentang relasi Maluku-Papua dan pergolakannya dengan VOC, khususnya masa awal kolonialis Belanda, nyaris tidak ada.

Buku karya Muridan Widjojo ini merupakan desertasinya di Universitas Leiden yang menyiratkan betapa penting peran Maluku bagi wilayah timur Indonesia pada masa lalu. Uraian mengenai sepak terjang Sultan Nuku, yang diletakkan dalam perspektif relasi Maluku dengan Papua dalam dinamika hubungan dan pertarungan politik dengan VOC pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19 ini, telah memecah kesenyapan historiografi itu.

Pada awal era kolonial, Maluku bagaikan magnet dunia. Segala bangsa hadir untuk mendapatkan benda paling berharga, yaitu rempah-rempah, khususnya cengkeh dan pala. Portugis, Spanyol, Belanda, Inggris, dan Perancis hadir di perairan Maluku, saling bertarung, dan bersekutu dengan kesultanan-kesultanan lokal untuk mendapatkan hak monopoli perdagangan cengkeh dan pala.

Maluku, khususnya Ternate, Tidore, dan Jailolo, menjadi arena awal dari penetrasi kolonialis Belanda dengan VOC-nya di Nusantara. VOC merasuk ke istana empat kesultanan di Maluku Utara itu karena mereka saling berseteru sekaligus bersekutu untuk menjadi utama dalam menguasai Maluku.

Pada tahun 1797, Sultan Nuku muncul sebagai tokoh protagonis yang mengobarkan perlawanan terhadap VOC. Saat itu, ia berupaya menaklukkan seterunya di Ternate dengan menjalin kerja sama dengan EIC (East Indian Company) milik Inggris yang bisa menjadi tandingan bagi VOC demi memulihkan wibawa Kesultanan Tidore.

Tidore dan Papua

Sumbangan berharga pertama dari buku Muridan ini adalah kemampuannya secara rinci menghadirkan relasi serta kerja sama antara Sultan Nuku dari Tidore dan Papua.

Perlawanan Nuku kepada VOC Belanda diikuti oleh kelompok-kelompok dari Raja Ampat, Salawati, Misol, Waigeo, dan Tanjung Onin, Papua. Menurut catatan, hubungan orang-orang Papua dengan Tidore telah terjalin dalam waktu yang panjang, jauh sebelum abad ke-16.

Muridan menggambarkan persekutuan Kesultanan Tidore dan Papua begitu unik dan taktis. Hubungan itu tidak statis layaknya Tuan dengan Vazal, tetapi hubungan yang dinamis yang saling menguatkan. Bagi Nuku, Kesultanan Raja Ampat sampai Onin adalah sumber kekuatan untuk menggentarkan musuh-musuhnya. Bagi Papua, pertalian ke Tidore menjadi sumber magis untuk memperkuat pengaruh internal (halaman 177).

Dalam relasi yang tidak saling menundukkan itu, persekutuan Maluku-Papua terjalin melampaui ruang politik dan merasuk ke ruang budaya, yang sampai saat ini masih bisa dirasakan di seputaran Raja Ampat, Papua.

Pelayaran hongi

Di sisi lain, buku ini juga mengurai sejarah Maluku yang tidak lepas dari tradisi hongi, yaitu tradisi pelayaran perang di antara kekuatan-kekuatan lokal di Maluku jauh sebelum Belanda dengan VOC-nya hadir di Maluku. Pelayaran hongi adalah pelayaran armada perang yang terdiri atas puluhan kora-kora untuk berperang, menjarah, dan menyerang sekaligus mengontrol daerah taklukan.

Dalam menaklukkan kekuatan-kekuatan lokal di Maluku, pada awal abad ke-17, VOC mengambil alih tradisi hongi dan memodernkannya dengan kapal-kapal VOC yang dipersenjatai dengan alat yang lebih baik. Satu armada hongi terdiri atas 46 kora-kora ditambah dengan puluhan kapal VOC, yang keseluruhannya bisa lebih dari 100 kapal. Armada sebesar itu tujuannya satu, yaitu menebar teror dan menunjukkan kekuatan VOC kepada semua pihak di Maluku, khususnya Ternate dan Tidore.

Muridan dengan jernih menunjukkan bahwa taktik pertarungan Nuku dengan VOC ibarat pertarungan antar laksamana perang dengan bala hongiVOC dilengkapi dengan armada hongi dan senjata modern, sementara Nuku dengan bala tentara lokal dengan semangat juang tinggi.

Buku Muridan ini menunjukkan bahwa arsip-arsip kolonial pada era klasik begitu penting untuk dikaji guna melihat dasar hubungan antarkomunitas di Nusantara yang kini menjelma menjadi Indonesia. Selain itu, juga berguna untuk memahami jejaring regional dari geopolitik Nusantara masa kini.


Sumber: http://wartakota.tribunnews.com/2013/11/20/cengkeh-voc-dan-nuku?page=2

Komentar (0)


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Bidang yang harus diisi ditandai *