BW Lapian, Pejuang Religius Minahasa

Nofanolo Zagoto
Penulis di Validnews.id


Masa pemerintahan kolonial jadi masa-masa yang serba sulit bagi masyarakat tanah air. Kontrol Belanda sangat kuat, bahkan untuk urusan pelayanan, Gereja, bahkan melalui De Protestantsche Kerk di Nederlandsch-Indie, atau lebih dikenal dengan Indische Kerk (gereja negara).

Gereja-gereja yang terjadi di bentukan Belanda ini sangat banyak kehidupan kerohanian jemaat-jemaat protestan sejak permulaan abad ke-19 sampai dengan permulaan abad ke-20, akhirnya timbul masalah. Muncul bantuan gerakan para jemaat di tanah untuk otonom lepas dari Indische Kerk.

Keinginan ini jugalah yang bersama pikiran Bernard Wilhelm Lapian. Dia bersama sejumlah tokoh lainnya, Sam Ratulangi menyadari jika Indische Kerk ini menjadi alat yang digunakan oleh pemerintah Hindia Belanda untuk mempertahankan kekuatan melalui masyarakat di Minahasa.

Lapian sendiri tengah Lantai Wakil Ketua Perserikatan Pangkal Setia waktu itu. Dia dikenal memiliki peran yang penting dalam mempengaruhi masyarakat Minahasa buat mendirikan gereja otonom. Sedang di Jakarta, Sam Ratulangi, coba memanfaatkan posisinya sebagai anggota Volksraad (dewan rakyat Masa Pemerintahan Hindia Belanda.) Untuk memperjuangkan aspirasi mereka.

Bagusnya usaha mereka tak sia-sia. Sebab di tahun 1928, muncul organisasi Persatuan Penolong-penolong Injil terhadap upaya Perserikatan Pangkal Setia untuk digunakan di gereja otonom buat Minahasa. Organisasi Persatuan Penolong-penolong Injil dengan dana dari Ilandsch Leraren Bond.

Sayang pemerintah Belanda malah keukeuh pada pengalamannya. Mereka tetap tidak bisa mengeluarkan gereja dan beraritas untuk mengambil alih Nederlandsch Zendeling Genootschap (NZG / lembaga pekabaran injil Belanda.red) pada 1930.

Tapi toh rugi ini berakibat buruk bagi Belanda sendiri. Berkat inti Lapian dan tokoh lainnya, sekitar 1931 dan 1932 desakan masyarakat agar gereja segera keluar dari Indische Kerk malah semakin luas dan kuat akibat sikap Belanda itu.

Di bulan Agustus 1932 Perserikatan Pangkal Setia dari Majelis Gereja Manado dan lain-lain mengadakan rapat besar di Kuranga, Tomohon. Keputusannya membuat Gereja Minahasa berdiri sendiri dengan pemimpin orang Minahasa. Lapian sendiri yang digunakan sebagai sekretaris panitia persiapan gereja otonom saat itu.

Yang menarik, berdasarkan catatan sejajah Kerapatan Gereja Protestan Minahasa (KGPM) meskipun masih mendapatkan tentangan dari Belanda, pada 11 Maret 1933 terjadi pertemuan 75 tokoh gereja dan tokoh masyarakat di Sicieteit Harmoni (sekarang gedung Bank BNI 1946.red), termasuk BW Lapian. Pertemuan yang diketuai oleh Sam Ratulangi itu sudah beres untuk segera merealisasikan kenegaraan untuk segera mendirikan gereja otonom yang terbebas dari kontrol Belanda.

Alhasil, seminggu kemudian, tepatnya pada tanggal 18 Maret 1933, lahir kepengurusan KGPM yang lepas dari Indische Kerk. Lalu tanggal 21 April 1933 atas dorongan Sam Ratulangi kembali menjalankan pertemuan yang dikenal dengan nama Kongres Rakyat. Pertemuan ini dihadiri kurang lebih 70 orang dari latar belakang yang berbeda untuk mencari.

Pertemuan Sayang yang dilakukan untuk sikap dan kontra. Ganti rugi yang terjadi saat KGPM tidak ada yang memiliki Angaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga. Pemerintah Belanda pun juga melarang kegiatan KGPM. Namun, hal ini dapat diakali setelah Perserikatan Pangkal Setia memutuskan untuk melakukan KGPM sebagai organisasi binaannya.

Adanya jalan keluar bagi KGPM ini tepatnya dijawab pemerintah Belanda lewat peningkatan pengawasan. Belanda juga terus-menerus menghambat pertumbuhan dan perkembangan KGPM.

Namun kegiatan gereja yang telah terbebas dari kontrol gereja ini terus, bahkan semakin meningkat kembang. Malahan, melalui tindakan tegas Lapis yang diberi mandat dari Ketua KGPM Joseph Jacobus yang sedang sakit, KGPM diproklamirkan lepas dari Indische Kerk dengan sidang jemaat Wakan sebagai anggota gereja pertama.

Peristiwa di Wakan itu pun dilakukan orang-orang positif di Minahasa. Makanya, meskipun berada di bawah Belanda, dalam kurun waktu 3 tahun (1933-1936) jumlah sidang jemaat di KGPM mampu mencapai 72 sidang.

Namun pemerintah Belanda tidak menyerah terus memberikan kesempatan hingga jelang kemerdekaan. Mereka melancarkan propaganda antarjemaat di Minahasa, mereka juga mengeluarkan informasi yang menyebutkan KGPM membebaskan gereja yang saja. Karena tidak sah, Belanda menganggap surat baptis yang dikeluarkan juga tidak akan sah. Tak hanya itu, perkawinan yang KGPM juga dianggap tidak sah oleh Belanda saat itu.

Robek Bendera

Di luar aktivitasnya untuk gereja, pada 1930 hingga 1934, Lapian juga akan menjadi anggota Dewan Minahasa. Dipercaya atas jabatan itu, dia secara terus menerus memperjuangkan pembangunan fasilitas publik, infrastruktur, rumah sakit, dan lainnya.

Semasa pendudukan Jepang, Lapian juga pernah menjadi Gunco (kepala distrik), dan pada tahun 1945 dia mengemban tugas sebagai Wali Kota Manado.

Namun perjuangan BW Lapian untuk Indonesia tidak berhenti untuk kemerdekaannya di tahun 1945. Mula, di masa revolusi kemerdekaan, sebagai pimpinan sipil di Manado, laki-laki kelahiran Kawangkoan pada 30 Juni 1892 ini juga merupakan salah satu yang terbesar di kota yang terkenal sebagai Peristiwa Merah Putih di Manado .

Peristiwa ini terjadi sedikit istilah yang relevan yang dikirim oleh Sam Ratulangi yang saat itu menjadi gubernur Sulawesi di Makassar yang menginginkan agar orang-orang dari mereka dan orang-orang dari mereka berjuang.

Surat rahasia itu sampai ke Lapian dan CH Taulu, perwira KNIL yang pro Indonesia. Makanya, pada saat khusus serangan terhadap tangsi tentara KNIL itu. Aksi ini direalisasikan pada 14 Februari 1946.

Dalam usaha menyelesaikan tangsi militer Belanda di Teling, Manado itu, orang-orang Lapian memimpin pasukan bersama Letkol Ch Taulu dan Serda SD Wuisan. Mereka merobek bagian biru pada bendera Belanda. Berkat tindakan mereka yang dari bendera Belanda itu hanya merah dan putih yang menggambarkan bendera Indonesia.  

Pemimpin para pemimpin perjuangan pada 16 Februari 1946 Yang menunjuk Lapian menjadi Kepala Pemerintahan Sipil Sulawesi Utara. Maklumat itu ditandatangani Letkol Ch Taulu, SD Wuisan, J Kaseger, AF Nelwan, dan F Bisman. Karena kepercayaan itu, Lapian pun menyatakan bahwa Sulawesi Utara tidak terpisahkan dari Republik Indonesia dan bukan provinsi ke-12 negeri Belanda.

Sayangnya, pada 11 Maret 1946 NICA yang bersekolah kembali di Minahasa. Akibat ketegasan BW Lapian untuk mengembali kekuatan kepada NICA, ia pun pernah dijebloskan ke penjara di Teling, Manado. Pada 1947, BW Lapian pindah ke penjara Cipinang, Jakarta. Pada 1948 pindah lagi ke Penjara Sukamiskin, Bandung sebelum akhirnya dibebaskan pada 20 Desember 1949.  

Seiring berjalannya waktu, Lapian juga pernah dipercaya menjadi Gubernur Sulawesi di Makassar. Semasa kepemimpinannya, ia menyelesaikan masalah yang mendorong pemberontakan Kahar Muzakar secara damai.

Pria yang angkat menjadi Pahlawan Nasional pada 5 November 2015 lalu di semasa bekerja di Jakarta, dan berprofesi sebagai jurnalis. Di masa-masa kehidupannya sebelum kebebasan, Lapian menulis di surat kabar Pangkal Kemadjoean yang mengeluarkan sikap nasionalis untuk membebaskan warga Indonesia dari kolonialisme.

Dia juga kemudian mendirikan surat kabar Fadjar Kemadjoean (1924-1928) yang membahas dengan kesejahteraan rakyat. Sekembalinya Lapian ke Kawangkoan pada tahun 1940, dia juga menerbitkan Semangat Hidoep yang isinya mengobarkan melawan propaganda kolonial yang mengajak warga Minahasa setia kepada Belanda.

Sumber: https://www.validnews.id/BW-Lapian–Pejuang-Religius-Minahasa-XdOEh

Komentar (0)


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Bidang yang harus diisi ditandai *