Belajar dari ‘Orang Pangkat-Pangkat’ Mengatur Batavia
Achmad Sunjayadi
Pengamat budaya
Kita selalu diingatkan agar tidak melakukan kesalahan yang sama alias seperti keledai masuk lubang yang sama. Oleh karena itu bercermin atau belajar dari pengalaman dan sejarah adalah hal yang dianjurkan. Namun, peringatan dan anjuran itu seolah diabaikan. Entah karena lupa, pura-pura lupa atau ikut-ikutan lupa lantaran asyik dengan ‘jabatan’ yang kita pegang. Akibatnya banyak yang kelak mendapat ganjarannya.
Salah satu upaya belajar itulah terdapat dalam buku Sejarah Para Pembesar Mengatur Batavia karya Mona Lohanda ini. Sekilas buku ini seolah hanya untuk golongan tertentu yaitu ‘orang pangkat-pangkat’. Namun, tak ada salahnya kita belajar bagaimana mereka mengatur Batavia di masa silam karena ada banyak pelajaran yang bisa diambil. Apalagi bulan Oktober DKI Jakarta mendapatkan gubernur baru. Hasil pemilihan langsung. Dengan kata lain, bisa kita lihat kiprah orang nomor satu Jakarta dan ‘para ahlinya’ bekerja.
Patut kita ketahui bahwa menuliskan sejarah administrasi Batavia apalagi masa VOC adalah pekerjaan sulit yang butuh ketelitian. Di tangan Mona Lohanda, arsiparis dan sejarawan, sumber-sumber primer (dengan tulisan tangan dan bahasa Belanda abad ke-17/18) diolah sedemikian rupa hingga enak dibaca.
Pada masa VOC (1620-1800) sebenarnya ada 37 Gubernur Jenderal tetapi yang benar-benar terlibat langsung dengan urusan kota Batavia ada 34 Gubernur Jenderal. Sedangkan pada masa Hindia Belanda (1816-1942), Batavia memiliki 26 residen dan asisten residen yang bertanggung jawab atas pemerintahan kota. Gubernur Jenderal pada masa ini bukan lagi pimpinan yang mengurus pemerintahan lokal. Namun, segala keputusan residen dipengaruhi oleh keputusan Gubernur Jenderal yang berkedudukan di Weltevreden.
Untuk mencapai jabatan Gubernur Jenderal pada masa VOC, seseorang harus menduduki jabatan tertentu. Tidak ada pemilihan langsung. Mereka meniti karir mulai dari klerk(staf), asisten, boekhouder (pemegang buku), onderkoopman (pedagang junior), hingga opperkoopman (pedagang utama/senior). Ini jelas karena pada dasarnya VOC adalah sebuah perusahaan dagang (hal. 28).
Para pegawai dan serdadu VOC itu umumnya orang Eropa yang terdiri dari berbagai kebangsaan seperti Jerman, Prancis, Polandia, Denmark, Skots. Bahkan pada abad ke-18, separuh prajurit VOC berkebangsaan Jerman. Sementara itu jabatan Gubernur Jenderal khusus hanya untuk bangsa Belanda. Namun, ada pengecualian misalnya G.W.Baron van Imhoff yang keturunan bangsawan Jerman, Abraham Patras yang berdarah Prancis bahkan ada yang berdarah campuran Asia yaitu Dirk van Cloon (hal. 29).
Selain orang Eropa rupanya dalam VOC ada orang Jepang yang bekerja sebagai serdadu atau bekerja di kapal. Diperkirakan mereka bekerja sejak 1612. Sesudah pensiun dari VOC, mereka pun mencari pekerjaan lain dan menetap di Batavia. Menurut F. De Haan dalam Oud Batavia, komunitas warga Jepang di Batavia telah terbentuk sejak 1620-an. Bahkan tercatat pula jabatan Kapitein der Japanners (Kapitan Jepang) pada 1616.
Sebagai salah satu kota dagang VOC, Batavia dibangun dengan meniru kota-kota di Belanda. Salah satu ciri khasnya adalah grachten (kanal) atau kali buatan yang mengalir di dalam kota. Kanal-kanal itu rupanya tidak hanya sebagai sarana transportasi dari Ommelanden ke pelabuhan, beberapa kanal besar dijadikan tempat ‘plesir’ para pejabat VOC dan beberapa orang kaya Batavia. Mereka menggunakan perahu yang dihias, berplesir pada sore hari menyusuri kota (hal. 64)
Seperti masa kini, kali pada masa VOC menjadi tempat pembuangan sampah besar. Tempat curahan segala jenis sisa yang dihasilkan manusia. Urusan membuang sampah ini sebenarnya sudah diatur sejak 1630 yang melarang orang membuang kotoran manusia, sampah rumah tangga dan berbagai jenis sampah ke dalam kali dan kanal yang mengalir dalam kota. (hal. 151). Bagi yang melanggar didenda 6 riksdaalder. Namun penduduk Batavia mengacuhkannya, hingga denda dinaikkan jadi 25 riksdaalder. Terbayanglah pada masa lalu saja, penduduk sudah bandel apalagi sekarang.
Tingkah laku para Gubernur Jenderal masa VOC itu pun cukup menarik untuk disimak. Misalnya kelakuan Cornelis Speelman (1681-1684), pengganti Rijcklofs van Goens, yang memerintah semaunya tanpa meminta saran pada Raad van Indië (Dewan Hindia). Belum lagi manipulasi catatan keuangan hingga kebiasaan buruk main perempuan (hal. 94-95). Atau kelakuan Joannes Camphuys (1684-1691) yang sering mangkir rapat dengan Dewan (hal. 95). Sementara itu tindakan Diederick Durven (1729-1732) sangatlah tidak pantas dilakukan oleh ‘orang pangkat-pangkat’ di koloni. Ia dengan kejam membuang Wandullah, anak Kapitan Melayu, ke pengasingan di Srilangka lantaran Wandullah berani menagih utang sang Gubernur yang kalah berjudi (hal. 107).
Pada masa Jacob Mossel (1750-1761) berkembang gaya hidup pamer kemewahan di kalangan penduduk Eropa dan kaum Mardijker kaya. Misalnya pemakaian payung kebesaran, perhiasan, pakaian mewah, kereta kuda, jumlah budak. Sehingga sulit dibedakan mana yang anggota Dewan Hindia dan mana yang pemilik losmen (hal. 115). Maka dibuatlah aturan prach en praal tertanggal 30 Desember 1754 untuk membatasi gaya hidup yang berlebihan tersebut.
Namun hal itu bertolak belakang pada masa Petrus Albertus van der Parra (1761-1775). Gubernur Jenderal ini terkenal dengan gaya hidupnya yang mewah. Pesta pelantikannya sebagai Gubernur Jenderal dirayakan dengan mewah dan juga dirayakan di semua kantor dagang VOC di Persia, Jepang, India dan Srilangka. Ia bahkan menunda upacara pelantikannya hingga 1763.
Alasannya selain menunggu keputusan dari Heeren XVII di Amsterdam, van der Parra ingin upacara pelantikannya bertepatan dengan ulang tahunnya tanggal 29 September 1763. Mudah-mudahan saja pelantikan Gubernur DKI terpilih kelak tidak seperti pesta pelantikan P.A van der Parra. Selain itu van der Parra pun memiliki kebiasaan upacara ‘toast’ untuk kesehatan dirinya beserta istri setiap sore. Acara itu berlangsung mulai pukul 6 sore hingga 9 malam (hal. 120).
Sebenarnya bukan tidak ada Gubernur Jenderal yang ‘waras’ dan berupaya membongkar praktek-praktek penyalahgunaan wewenang. Seperti yang dilakukan oleh Abraham van Riebeck (1709-1713), Christoffel van Swoll (1713-1718), Henricus Zwaardecroon (1718-1725). Namun upaya itu sia-sia lantaran pejabat berikutnya kembali ‘tidak waras’ atau ikut-ikutan ‘tidak waras’. Sehingga kelak bubarnya VOC pada 1799 kerap dipelesetkan dengan Vergaan Onder Corruptie (tenggelam karena korupsi).
Secara garis besar peraturan yang dikeluarkan pada masa VOC berhubungan dengan masalah keamanan dan ketertiban, kegiatan ekonomi termasuk pajak, kebersihan dan kesehatan kota, pengaturan penduduk serta gaya hidup kelompok orang Eropa di Batavia. Jika perlu peraturan yang dikeluarkan itu menguntungkan secara finansial. Bisa jadi seperti Jakarta sekarang yang pendapatan pemasukan daerahnya juga berdasarkan dari beragam pajak.
Menariknya beberapa peraturan ini hingga sekarang pun masih diterapkan. Misalnya saja larangan memasang petasan dan mercon yang pada awalnya dilarang pada malam pergantian Tahun Baru China dan tahun baru tetapi akhirnya dilarang juga pada setiap kesempatan pesta dan perayaan penduduk (hal. 134). Atau penerapan pajak usaha dagang, transportasi, konsumsi dan hiburan. Pajak hiburan misalnya pajak ronggeng dan tandak, wayang, judi dan sabung alam (hal. 138). Pajak wayang ini mengingatkan kita pada pajak tontonan yang diterapkan pada bioskop di masa sekarang.
Ada juga peraturan ‘konyol’ yang dikeluarkan yaitu denda bagi para calon pengantin yang terlambat di gereja untuk upacara perkawinan. Jika mereka terlambat di gereja Belanda, mereka didenda 10 riksdaalder. Jika upacara diadakan di gereja Portugis, dendanya 5 riksdaalder (hal. 142)
Singkat kata, buku yang dilengkapi berbagai ilustrasi dan lampiran nama-nama Gubernur Jenderal, Residen, Asisten Residen, Walikota, Bupati, Patih, Komandan Pribumi dan Komandan Distrik, Wedana dan Komandan Kelompok Warga Timur Asing ini sangat menarik. Selain itu dari buku yang berisi gambaran sejarah politik dan sejarah sosial ‘orang pangkat-pangkat’ di masa silam ini kita bisa ambil sisi positifnya.
Sayangnya tidak disertainya indeks membuat kita harus bersusah payah mencari obyek yang kita minati. Di samping itu ada satu hal yang terasa mengganjal yang muncul pada bab 1 (hal.21) yaitu kalimat “Tanggal 13 November 1596 untuk pertama kalinya serombongan kapal VOC mampir di pelabuhan Jakarta…”. Apakah pada 1596 VOC sudah berdiri? Pada 1596 VOC belum ada. VOC didirikan pada 20 Maret 1602 dan kedatangan kapal-kapal itu sebenarnya adalah ekspedisi pimpinan Cornelis de Houtman yang dikirim oleh para pedagang Amsterdam dengan tujuan mencari sebanyak mungkin informasi mengenai kepulauan penghasil rempah-rempah.
VOC sendiri terbentuk dari kongsi lima ‘Compagnieen van Verre’ (Kongsi Timur Jauh) Holland dan satu kongsi Zeeland yang akhirnya membentuk Generale Vereenichde Geoctroyeerde Oost-Indische Compagnie in de Geünieerde Nederlanden dan disingkat menjadi Vereenigde Oost-Indische Compagnie alias VOC saja. Patut dicatat pada masa itu, Belanda merupakan satu republik dari berbagai provinsi dan dikenal dengan nama Republiek der Zeven Vereenigde Provinciën.
Bila Anda pengikut paham kita ‘dijajah selama 350 tahun’ (dihitung dari 1596, tahun kedatangan Cornelis de Houtman), bagaimana perasaan Anda jika tahu bahwa kita ‘dijajah’ oleh dua provinsi dari sebuah negeri kecil. Atau hanya sebuah perusahaan dagang Eropa.
Terlepas dari kekurangan tersebut buku ini layak dibaca semua kalangan, khususnya, peminat sejarah politik, administrasi, sosial budaya bahkan para pengambil keputusan alias ‘orang pangkat-pangkat’. Melalui ketelitian dan ketekunannya, penulis berhasil meramu sumber-sumber primer ‘kering’ hingga menghasilkan buku sejarah yang enak dibaca ini dan menyuguhkannya pada kita. Apalagi tidak banyak penulis Indonesia yang menggarap tema ini.
Comments (0)