Bedah Buku Sumatera Tempo Doeloe

Pada Jum’at 04 Maret 2011 telah diselenggarakan bedah buku Sumatera Tempo Doeloe yang diadakan oleh Komunitas Bambu bekerjasama dengan LKBN ANTARA. Bedah buku ini dimoderatori oleh Uswatul Chabibah (Pemimpin Redaksi Komunitas Bambu) dan dua pembicara: Basyral Hamidy Harahap sejarawan yang banyak menulis buku mengenai Sumatra dan Dewi Anggraeni sebagai penyunting buku Sumatera Tempo Doeloe.
Sumatera Tempo Doeloe merupakan buku yang mengulas mengenai Pulau Sumatera. Buku yang disusun oleh Anthony Reid ini sebenarnya tidak ditujukan kepada pembaca Indonesia. Buku ini disusun berdasarkan permintaan Oxford University Press guna melengkapi seri catatan perjalanan ke Asia Tenggara. Pembahasan yang dibahas berupa dokumentasi sejarah mengenai Sumatra dari Marcopolo sampai Tan Malaka. Buku ini diharapkan bisa membantu memperlebar jalan menuju rekonstruksi sejarah pulau yang terkenal dengan julukan Tanah Emas. Buku Sumatera Tempo Doeloe adalah buku yangt diproduksi ulang dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Format buku ini adalah kompilasi fragmen-fragmen dari tulisan utuh. Bentuknya menandakan bahwa buku ini bukanlah sumber sejarah yang koheren.

Tulisan-tulisan yang ada di buku ini terkesan mendramatisasi reputasi buruk suatu suku maupun kelaliman raja tertentu. Hal ini dapat menimbulkan kontroversi karena dapat menyinggung hati pembaca Indonesia. Buku ini sebaiknya diposisikan dengan literatur-literatur lain mengenai Sumatra dalam upaya melakukan rekonstruksi sejarah. Selain itu, produksi makna buku dari pembaca Indonesia abad ke-21 pun harus dipertimbangkan.
Di buku ini dipaparkan juga citra gelap dan menyeramkan pulau Sumatera secara mendetail. Marco Polo menggambarkan di buku ini suku Batak sebagai suku kanibal yang seolah-olah tak kenal ampun terhadap pendatang: “Penduduk yang tinggal di pegunungan hidup seperti bintang. Saya berani bersumpah, mereka memakan daging manusia dan jenis-jenis daging lain, baik bersih maupun kotor”.
Melalui buku ini pula kita mengetahui bahwa stereotipe-stereotipe tertentu mengenai orang Sumatera sudah muncul sejak lama. Kita sampai-sampai tidak tahu lagi apakah stereotipe itu memang ada benarnya atau justru bumbu sensasi itulah yang menjelma kebenaran. Namun, benar atau salah tidak menjadi isu di sini. Hal yang perlu diwaspadai adalah bagaimana semua itu membaur menjadi mitos dan mengaburkan kemampuan berpikir untuk menilai secara lebih objektif.

Sumber: http://perpustakaan.pertamina.com/index.php/berita/details/20

Komentar (0)


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Bidang yang harus diisi ditandai *