Gerbang Agama-Agama Nusantara (Hindu, Yahudi, Ru-Konghucu, Islam & Nasrani): Kajian Antropologi Agama Dan Kesehatan Di Barus
Barus Sebagai Perjumpaan Agama-Agama Nusantara

Dody Hidayat

Kontributor radiobuku.com


Buku berjudul Gerbang Agama-Agama Nusantara: Hindu, Yahudi, Ru-Konghucu, Islam & Nasrani ini seyogianya ‘hanya’ penelitian antropologi kesehatan yang dilakukan Rusmin Tumanggor, guru besar antropologi kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah. Di Barus, Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, ia menemukan banyak mantra dan jampi-jampi di pustaha yang mengandung bahasa Cina, Yahudi, Sanskerta, sampai Arab. Namun, buku yang diluncurkan di hari pembukaan Borobudur Writers 2017 ini menjadi penting untuk kajian sejarah agama di Nusantara lantaran pada 24 Maret 2017 Presiden Joko Widodo mengukuhkan Barus sebagai tempat masuknya Islam pertama di Nusantara menggantikan Pasai dan Peureulak, Aceh. Nah, di bawah ini merupakan kliping dokumen majalah TEMPO yang menelisik buku Rusmin terbitan Komunitas Bambu (Kobam) ini di halaman ‘Iqra’.

DOK 1: Jejak Sejarah Agama dalam Mantra Barus – 4 Februari 2018

BARUS adalah pintu masuk agama-agama. Tidak hanya menjadi awal pertama masuknya Islam sebelum Pasai dan Peureulak di Aceh, kota pelabuhan dagang di pesisir barat Sumatera ini juga diyakini sebagai pintu masuk agama-agama besar, seperti Hindu, Yahudi, Konghucu, dan Kristen. Buku Gerbang Agama-Agama Nusantara karya Rusmin Tumanggor, guru besar antropologi kesehatan Fakultas Ilmu Tarbiyah Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, ini mengungkap peran sentral Barus dalam sejarah penyebaran agama di Nusantara.

Jejak keberadaan agama-agama besar itu dalam penelitian Rusmin tersurat pada mantra dan jampi yang dilafalkan para datu atau dukun pengobatan tradisional ala Barus. Selama lebih dari empat tahun sejak 1992, Rusmin meneliti bagaimana para datu di Kecamatan Barus, Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, itu menjalankan ritual pengobatan. Dari penelitian untuk disertasi di Program Doktor Antropologi Kesehatan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia itulah buku yang diterbitkan Komunitas Bambu pada Oktober 2017 tersebut bermula.

Barus menjadi pilihan Rusmin berdasarkan saran dari para pembimbingnya, seperti Parsudi Suparlan (almarhum), Boedhihartono, dan Subuh Budhisantoso. Menurut mereka, telah banyak kajian tentang Barus. Di kalangan ilmuwan pun Barus kerap disebut memiliki hubungan bisnis antarbangsa, terutama dalam perdagangan kapur barus dan rempah-rempah lain. “Barus itu penghubung antara Timur dan Barat, coba Anda teliti pengobatan tradisional di sana,” ujar Rusmin mengulangi ucapan para pembimbingnya.

Pengobatan tradisional di Barus dijalankan oleh datu. Datu tidak hanya ahli mengobati, tapi juga memberikan bimbingan ke masyarakat untuk mengatasi permasalahan keseharian, misalnya menentukan kapan memulai tanam atau pergi melaut, mencari tanggal baik untuk menggelar pesta atau melamar, serta mendapatkan jodoh atau pekerjaan. “Istilah datu dipakai hampir di semua suku Batak, seperti Tapanuli Selatan, Tapanuli Utara, Simalungun, Karo, dan Dairi. Sedangkan di Barus pesisir dan Sibolga disebut dukun,” kata Rusmin.

Bungaran Antonius Simanjuntak, guru besar emeritus sosiologi di Universitas Negeri Medan, membenarkan bahwa praktik pengobatan datu masih berlangsung sampai saat ini di beberapa daerah di Sumatera Utara. Menurut dia, di Karo, misalnya, datu biasa memanggil roh seseorang untuk ditanyai tentang penyembuhan penyakit. Bungaran juga menemukan praktik datu di Desa Namo Ukur di perbatasan Langkat dan Karo serta di Kabupaten Simalungun. “Saya pernah bertemu dengan Pangulu Damak, datu sakti yang disegani di Simalungun,” ujar Bungaran kepada Tempo, Kamis dua pekan lalu.

Datu, menurut Bungaran, tak hanya mampu mengobati berbagai macam penyakit, tapi juga pandai meramal, yang dalam bahasa Batak disebut datu pangulpuk atau sang peramal. Ada juga datu yang bertujuan merusak dan membunuh dengan ilmu hitam atau semacam santet. “Namun biasanya orang Batak hanya berhubungan dengan datu peramal atau datu pengobatan,” ucapnya.

Rusmin berhasil mendapatkan nama-nama datu pengobat di Kecamatan Barus dengan bantuan Camat Barus Jamaluddin Lubis, yang mengedarkan surat pendataan ke kepala-kepala desa di wilayah tersebut. Sewaktu Rusmin melakukan penelitian awal pada 1992, Barus masih berupa satu kecamatan yang terdiri atas 48 desa (ada satu kelurahan: Manduamas). “Totalnya ada 378 datu, jadi rata-rata di tiap desa ada tujuh datu,” tuturnya.

Dari 378 datu itu, Rusmin mewawancarai 97 datu yang dianggap memberikan data yang sahih dan tepercaya. Ia juga menambahkan tiga datu yang berasal dari Desa Napasingkam, Tapanuli Utara; Desa Poriaha, Sibolga; dan Desa Lipek Kajang, Aceh Selatan. Pemilihan 100 datu itu juga tidak dilakukan secara acak, tapi dengan teknik bola salju atau menggelinding dari satu datu ke datu lain. Ada yang menggelinding dari datu ke gurunya, ada pula yang merujuk ke datu perguruan lain.

Jumlah 100 datu itu diyakini Rusmin telah mencapai titik jenuh. “Ketika 90 datu sudah saya wawancarai, jumlah penyakit yang saya temukan mencapai 110. Ditambah 10 datu lagi, saya hanya mendapatkan 8 penyakit baru,” ujarnya. Begitu pun jumlah mantra yang dikuasai datu. Setelah mewawancarai 90 datu, ia berhasil mendata 390 mantra. Penambahan 10 datu lagi ternyata hanya memberi 5 mantra baru. “Jadi ada 118 penyakit yang dapat diobati datu dengan menggunakan 395 mantra,” kata pria kelahiran Barus, 70 tahun lalu, ini.

+++

Yang menarik, setelah meneliti mantra-mantra itu, Rusmin dapat mengelompokkan mantra-mantra tersebut dipengaruhi empat agama, yakni mantra Islam, Ru, Yahudi, dan Sipele Sumangot-agama lokal, penyembah arwah leluhur. Mantra Islam biasanya dimulai dengan bacaan basmalah (bismillaahirrahmaanirraahiim) dan diakhiri dengan bacaan laa ilaaha illallaah yang bersumber dari Al-Quran dan hadis. Sedangkan penambahan frasa seperti “Barkat Bagindo Ali”, “Barkat Pitua Guru”, dan “Barkat Rasulullah” menggambarkan masuknya paham tarekat, seperti tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah.

Mantra lain yang ditemukan Rusmin dari kumpulan catatan datu turun-temurun adalah yang berawalan “Hong” dan diakhiri dengan “Hah”. Semula, Rusmin menduga ini mantra agama Buddha. Tapi ahli budaya Cina, Rafi Tock, mengatakan bahwa Hong memang tidak populer. “Nama lengkapnya E (Wang) Huong (dibaca Kwang Hong)-dewa yang mengatur kehidupan orang yang telah mati ke dalam surga. Ini ajaran agama Ru (Ru Jiao), cikal-bakal Konghucu pada masa dinasti ke-2 di Cina,” ujar Rusmin menirukan penjelasan Rafi Tock. Dinasti ke-2 di Cina atau Dinasti Yao berkuasa pada 2357-2255 sebelum Masehi.

Yang menarik perhatian Rusmin lainnya adalah mantra dengan bacaan awal “Binsumirlah dirahaman dirahamin,” dan diakhiri “yasah, yasih, yasuah”, yang ditemukannya di pustaha Batak. Menurut ulama Kristen, ada kemungkinan ini muncul karena kekeluan lidah dari datu nonmuslim yang berguru ke datu muslim. Tapi Rusmin mendengar para datu sangat fasih melafalkan semua mantra. Apalagi di pustaha ada kalimat yang mengaitkan Tuhan Sipele Sumangot dengan Nabi Sulaiman: “Akan saya katakan kepada Tuhan awal mula kejadian, dua Raja Sulaiman.”

Nama Sulaiman tidak ada dalam sejarah Batak. Mungkin ini bahasa simbol karena Sulaiman adalah nabi sekaligus raja,” kata Rusmin. Ia pun membandingkan pustaha yang ditransliterasikan ke bahasa Batak Latin oleh para dosen Sekolah Tinggi Teologi Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Pematang Siantar dengan Kamus Hebrew-English. “Di situ tertulis yasah (outgoing), yasih (to peace), yasua (to leave). Jadi mantra itu adalah bahasa Ibrani. Tinggal pertanyaannya, apakah orang Barus ke Israel atau sebaliknya,” ujarnya.

Soal teks berbahasa Ibrani di dalam pustaha Batak diragukan oleh Nelson Lumbantoruan, pegiat budaya Batak yang pernah menjadi asisten Uli Kozok, filolog kelahiran Jerman yang melakukan penelitian tentang sastra Batak untuk disertasinya di Universität Hamburg. Nelson menyatakan telah berdiskusi mengenai teks “Binsumirlah…” itu dengan Uli Kozok, yang kini profesor dan koordinator Program Bahasa Indonesia-Melayu di University of Hawaii, Manoa, Amerika Serikat. “Menurut Uli Kozok, itu bukan teks Ibrani, melainkan bahasa Arab,” ujar Nelson, yang kini bekerja di Pemerintah Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara.

Uli Kozok, menurut Nelson, belum pernah menemukan ada teks bahasa Ibrani di dalam pustaha Batak. “Tidak mungkin ada bahasa Ibrani. Dari mana pengaruhnya?” ucap Nelson, mengutip Uli Kozok. Uli adalah pembuat perangkat lunak komputer untuk mentransliterasi aksara Batak ke huruf Latin. Program komputer ini dapat membedakan aksara Batak, baik versi Angkola Mandailing, Toba, Simalungun, Karo, maupun Pakpak Dairi. Dengan aplikasi tersebut, pengguna bisa mengetik aksara Batak di komputer menggunakan papan ketik biasa yang berhuruf Latin.

Nelson mengatakan mantra para datu dalam bahasa Batak disebut tabas, yang diucapkan secara berbisik. Tabas, menurut dia, yang terdapat di pustaha Batak sangat sulit diterjemahkan karena bahasanya tidak jelas. “Tidak jelas berbahasa Batak, tidak juga bahasa Melayu, dan juga tidak jelas berbahasa Arab,” ujarnya.

Ketiadaan mantra Kristen yang berasal dari Injil dalam ritual pengobatan datu Barus juga menggoda Rusmin. Seratus datu yang ia wawancarai itu terdiri atas 50 datu Islam, 12 Sipele Sumangot, 23 Kristen HKBP, 14 Katolik, dan 1 Metodis. Dari 38 datu Kristen, Rusmin hanya menemukan seorang yang mendaras mantra berawalan “Oh Sitolu Sada”, (Oh Tuhan yang Tiga Jadi Satu). “Dia tak satu perguruan dengan 37 datu lain yang menggunakan mantra lintas agama,” kata Rusmin.

Rusmin mendapat jawaban unik dari para datu tentang alasan menggunakan mantra secara lintas agama. “Dalam hal penyakit, Tuhan itu tetap saja punya rasa kasihan walaupun orang yang meminta tidak menyembahnya,” ucapnya. Rusmin pun mencari rujukan mengenai konsep “Tuhan saya dan Tuhan orang” ini, dan menemukannya di buku Harun Nasution, Al Islam. Menurut Harun, ada konsep “Tuhan nasional dan Tuhan lokal” yang disebut henoteisme di Mesir kuno dan Yahudi kuno.

Pengobatan datu yang berlandaskan konsep henoteisme itu mirip dengan pengobatan ala saman di Thonga, Afrika Selatan, yang diteliti oleh W.H.R Rivers. Masyarakat Thonga percaya sehat dan sakit ditentukan oleh kehangatan hubungan dengan supranatural atau makhluk gaib. Tapi para datu di Barus juga memakai tumbuhan dan hewan sehingga yang berlaku di sana adalah pengobatan yang menggunakan kombinasi ramuan alam dengan lintas keyakinan.

+++

RUSMIN mencatat ada 247 macam tumbuhan obat dalam 166 spesies, termasuk rempah-rempah yang menjadi bahan bagi datu membuat racikan obat atau pulungan roha-roha. Sebagian ramuan itu berasal dari Kitab Tajul Muluk (Mahkota Raja-raja), dan sebagian lain berasal dari kumpulan pengetahuan para datu, pemuka agama, dan dokter atau orang terdidik, serta masyarakat biasa yang pernah memakai jasa datu dan pulungan roha-roha.

Semua jenis tumbuhan obat itu sudah diserahkan Rusmin ke Museum Herbarium Bogoriense di Bogor, Jawa Barat. Menurut dia, berdasarkan penelusuran ahli farmakologi di museum tersebut, sebanyak 37,5 persen atau 93 tumbuhan itu mempunyai faedah yang sama dengan medis konvensional. Contohnya, kumis kucing, bunga lawang, jarak, dan kopi. Sisanya memiliki kegunaan yang bervariasi.

Tumbuhan obat para datu itu pula yang mempertemukan Rusmin dengan JJ Rizal dari Komunitas Bambu yang juga bagian dari panitia “Pameran Jalur Rempah: The Untold Story” yang digelar di Museum Nasional, Jakarta, pada Oktober 2015. Ide pameran itu, menurut Rizal, karena perdagangan kapur barus merupakan salah satu Jalur Sutra tertua. “Sampai masa kontemporer masih hidup jejak Jalur Sutra dari perniagaan kapur barus itu,” ujar Rizal. Hal tersebut ditunjukkan Rusmin melalui disertasinya tentang pengobatan datu di Barus.

Rusmin memang menyinggung kapur barus yang membuat Barus masyhur di seantero dunia. Kapur barus, yang merupakan damar dari pohon kamper (Cinnamomum camphora) yang tumbuh di Barus, merupakan bahan untuk mumifikasi jenazah yang telah dipraktikkan bangsa Mesir kuno sejak 3000 sebelum Masehi. Rusmin juga menyitir hadis Nabi Muhammad SAW mengenai tata cara memandikan jenazah dengan kafuuran, yang diterjemahkan dosen bahasa Arab dan tafsir Fakultas Ilmu Tarbiyah UIN Syarif Hidayatullah, Salman Harun, sebagai kapur barus.

Kafuuran, menurut Rusmin, juga terdapat dalam Al-Quran Surat Al-Insaan ayat 5: “Sesungguhnya orang-orang yang berbuat kebajikan (kelak dalam surga) akan minum dari gelas (berisi minuman) yang campurannya adalah kafuuran”. “Sebagian ulama menerjemahkan kafuuran sebagai kapur barus walaupun terjemahan Departemen Agama menyebutnya sebagai nama mata air di surga,” tuturnya.

Penjelasan itu juga yang disampaikan Rusmin ketika menghadap Presiden Joko Widodo pada 15 Maret 2017. Saat itu, ia bersama para kiai Nahdlatul Ulama dan pemimpin Jam’iyah Batak Muslim Indonesia mengungkapkan perasaan keagamaan mereka bahwa Islam pertama masuk ke Nusantara pada abad ke-7 Masehi di Barus. “Pasti ada umat Islam dari periode Nabi Muhammad menyiarkan Islam yang ke Barus mencari kapur barus karena dorongan fardu kifayah,” ujar Rusmin.

Cerita Rusmin soal kapur barus itu mungkin menjadi pertimbangan Presiden Jokowi menetapkan Barus sebagai pintu masuk Islam dengan meresmikan Tugu Kilometer Nol Peradaban Islam Nusantara pada 24 Maret 2017. Penetapan itu diakui Rizal menambah semangatnya menerbitkan disertasi Rusmin. “Sayangnya, setelah penetapan itu, Pak Rusmin jatuh sakit dan harus menjalani operasi jantung. Buku itu pun tak bisa diterbitkan lebih awal,” ucap Rizal. Peluncuran buku terlaksana saat “Pameran Jalur Rempah: Kedatuan Sriwijaya-The Great Maritime Empire” di Museum Nasional, Jakarta, November 2017.

DOK 2: Berguru ke Seratus Datu – 4 Februari 2018

RUSMIN Tumanggor, 70 tahun, tak pernah menyangka istilah “ramuan tradisional” yang ia gunakan dalam proposal penelitiannya bermakna buruk di mata masyarakat Barus. Karena istilah itu, ia kesulitan mendapatkan identitas datu atau dukun pengobat tradisional di Kecamatan Barus, Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara.

Ramuan artinya racun biasa atau rasun huta-huta, sedangkan tradisional diartikan sebagai ‘yang dipakai untuk meracuni orang’,” ujar guru besar antropologi kesehatan Fakultas Ilmu Tarbiyah Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, itu. Akibatnya, tak ada satu pun dari 48 kepala desa yang membalas surat edaran berlampiran formulir bertajuk “Datu Pengguna Ramuan Tradisional” yang dikirimkan Camat Barus.

Sebenarnya yang dimaksudkan Rusmin adalah datu yang mengobati penyakit menggunakan racikan tumbuhan, hewan, dan benda-benda lain yang dalam istilah desa-desa di Barus dikenal sebagai ubak roha-roha. Di perdesaan yang lebih pesisir, istilah itu berubah menjadi ubek kampung-kampung, sedangkan di desa pedalaman istilahnya pulungan roha-roha.

Rusmin membutuhkan identitas datu di Barus sebagai bahan penelitiannya untuk menyusun disertasi doktor antropologi kesehatan di Universitas Indonesia. Ia kembali meminta bantuan Camat Barus untuk menyurati ulang para kepala desa dengan lampiran berjudul “Penelitian/Parsiajar Pulungan Roha-roha/Pulungan Huta-huta/Ubek Kampung-kampung”. Para kepala desa pun merespons dengan mengirimkan nama-nama datu, jenis kelamin, keahlian, agama, dan pekerjaan pokoknya. Total, ada 378 datu di Kecamatan Barus tersebut.

Rusmin berpikir akan mudah mewawancarai para datu karena ia lahir di Barus. Ternyata tidak. Maklum, Rusmin telah merantau ke Sibolga sejak usia sekolah menengah pertama, lalu menempuh sekolah menengah lanjutan di Medan, dan kuliah sarjana di Institut Agama Islam Negeri Ar-Raniry, Banda Aceh. Wawancara pada awalnya tidak berjalan lancar karena datu sangat tertutup.

Ketika ditanya apa yang ia baca waktu pengobatan itu, jawabnya, ‘itu rahasia’. Saya tanya tumbuhan yang dipakai apa saja, dijawabnya, ‘ini saja, tidak semua bisa saya berikan’,” kata Rusmin menceritakan proses wawancaranya.

Menyadari bahwa jika ini berlangsung terus akan menggagalkan risetnya, Rusmin pun memberanikan diri bertanya kepada datu tentang yang harus ia lakukan agar bisa mendapatkan ilmu untuk kepentingan penelitiannya itu. Sang datu pun menjelaskan bahwa ia harus berguru (marguru). Bukan cuma berguru ke satu datu, melainkan kepada 100 datu.

Calon murid disyaratkan belajar membaca dan menulis aksara Batak. Kemampuan ini penting agar dapat membaca pustaha Batak atau kumpulan ilmu Batak. Pustaha terdiri atas dua kelompok. Pertama, Tumbaga Huling, yang berisi ilmu haugamoan (keagamaan), paradaton (adat-istiadat), harajaon (pemerintahan), paruhuman (hukum umum), dan partiga-tigaon (perdagangan). Kelompok kedua adalah Surah Agong, yang berisi ilmu hadatuon (perdukunan), parporangan (peperangan), parmonsahon (persilatan), pangaliluon (penyesatan), halimunon (menghilang), parulaonan (kegiatan kehidupan), dan parumaonan (pengolahan sawah-ladang).

Selain pustaha, sumber pengembangan ilmu perdukunan adalah Al-Quran dan hadis Nabi Muhammad serta Kitab Tajul Muluk (Mahkota Raja-raja), yang berisi pengembangan pemikiran dari 40 hadis pilihan mengenai ilmu hisab, perhitungan kalender, bulan dan hari baik, ilmu nujum, serta kumpunan obat ramuan tradisional. Sumber lain adalah doa-doa Mujarrabat, yang merupakan rangkaian doa hasil rekayasa para ulama perakit doa, doa dan ramuan dari mimpi, doa dan ramuan dari kerasukan, serta kumpulan catatan datu turun-temurun.

Rusmin harus menunaikan kewajiban sebelum menempuh perguruan itu. Ia mesti menyerahkan sejumlah barang, seperti ikat pinggang (bagantung), jamu, jarum, beras, kain hitam-putih-merah, ayam, dan telur di empat sudut wadah (empang). Dia juga harus memberikan uang yang jumlahnya terserah. “Di awal perguruan, saya menyerahkan uang Rp 50 ribu. Sedangkan setiap kedatangan untuk belajar saya memberikan uang Rp 5.000,” ujar Rusmin.

Terkadang ia juga menambahkan uang bayaran jika menggunakan waktu sang datu di luar jam praktiknya. “Biasanya disesuaikan dengan pekerjaan pokok sang datu. Misalnya, kalau dia tukang batu, saya akan ganti upah hariannya. Atau, kalau si datu nelayan, saya akan cari tahu dari tetangganya berapa biasanya pendapatan sekali melaut,” ucapnya.

Proses berguru Rusmin dengan sang datu melalui metode tanya-jawab setelah pasien pulang. “Saya bertanya tentang mantra yang dibaca, apa nama penyakitnya, sudah berapa kali pasien datang, dan ramuan tumbuhan yang digunakan,” ujar Rusmin. Datu juga akan menguji hasil belajar muridnya dengan bertanya tentang obat dan penyakit yang telah diajarkan. Jika jawaban murid benar, berarti benar pula catatannya.

Selama tiga tahun Rusmin menempuh perguruannya hingga ke 100 datu. Tiap datu ia datangi beberapa kali, tapi tidak setiap hari. Kebanyakan perguruan ini disudahi Rusmin di tengah jalan karena targetnya memang bukan untuk menjadi datu. Ia akan memohon ke datu guru untuk berhenti berguru dan meminta saran ke mana lagi harus berguru.

Proses mengakhiri perguruan atau mamutus poda pun mesti dijalani Rusmin. Datu akan mengatakan, “Saya serahkan ilmu ini kepada Bapak, Bapak sudah berhasil menerima ilmu dari saya, Bapak menjadi murid saya.” Datu yang selesai berguru pun wajib memberikan seserahan yang macamnya berbeda-beda disesuaikan dengan kebutuhan datu. Tapi nilainya tidak besar, kira-kira Rp 50 ribu.

Setelah menjadi datu, ada syarat yang harus dipenuhi dan dijaga terus sebagai etika seorang datu. Di antaranya, datu tidak boleh menyombongkan ilmunya, tidak membedakan pelayanan terhadap pasien, tidak mata duitan, mengobati dengan sukarela, tidak minta diantar pulang, dan tidak memakan sendiri bawaan pasien.


Sumber: https://radiobuku.com/2018/02/barus-sebagai-perjumpaan-agama-agama-nusantara/

Komentar (0)


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Bidang yang harus diisi ditandai *