Bagaimana Sukarno Menciptakan (Partai) Golkar?

Ivan Aulia Ahsan
Jurnalis tirto.id


Partai Golongan Karya (Golkar) adalah partai yang masih bertahan di zaman ini. Sebagai organisasi politik, Golkar adalah satu-satunya partai yang merasakan semua orde sejak Indonesia merdeka. Sejak kelahirannya, ia seperti tidak pernah menjadi masa surut: terus moncer dialam zaman, atau minimal tidak pernah benar-benar redup.

Gelombang Reformasi boleh saja menggerogoti Partai ini luar-dalam dan [yang] [diperankan]. Tapi, hingga hari ini, Golkar tetap di sana, mondar-mandir di sekitar kekuasaan.

Dari mana sebenarnya Golkar ini bermula?

Tak banyak yang tahu apakah cikal bakal pesta ini muncul dari terobosan politik Soekarno di akhir 1950-an. Terobosan itu dianggap untuk menyikapi jejak pelik yang sedang mewarnai Sukarno. Bahkan jika ditarik lebih ke belakang, ide tentang “Golkar” sudah ada sejak tahun 1940-an dalam bentuk pemikiran integralistik-kolektivis tentang bagaimana sebuah negara diorganisasi. Jika diterangkan secara singkat, pemikiran integralistik ala Indonesia mengacu pada konsepsi yang mengacu pada prinsip tentang musyawarah mufakat, bersatunya rakyat dan negara, keharmonisan, kesatuan, dan totalitas.

Gagasan tersebut mengemuka pada keputusan dalam sidang-sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) tentang bentuk negara. Pengusungnya adalah Sukarno sendiri bersama Pak Soepomo dan Ki Hajar Dewantara.

Pada level praksis, pemikiran integralistik ini memang tidak berhasil diterapkan pada awal mula Republik Indonesia tentang lantaran kebijakan pemerintah tentang pembentukan partai politik tidak memungkinkannya. Tapi ia terus mengendap di benak Soekarno. Kelak, kompilasi saat yang mewakili tepat tiba, Sukarno mengambil lagi gagasan lamanya ini untuk dicoba diterapkan di Indonesia.

Resolusi budaya yang ditengarai David Reeve dalam Golkar: Sejarah yang Hilang, Akar Pemikiran, dan Dinamika (2013). Indonesianis from Australia yang berhasil melacak “sejarah yang hilang” dalam perjalanan Golkar yang sering luput dari pengamatan orang banyak.

“Organisasi ini [Golkar] mulai diorganisasi sejak akhir dasawarsa 1950-an untuk memberi bentuk pada konsep kolektivis dalam perpolitikan Indonesia,” tuturnya.

Orang yang selama ini memang mengenal Golkar hanya sebatas sebagai “partainya Orde Baru”, “mesin politik Soeharto”, “partai lama pro-pemerintah” atau “partai anti-Orde Lama”. Tapi seperti fakta bahwa Golkar muncul melalui proses yang lama sebelum Orde Baru berkuasa, dan menutup mata dari ironi yang ia lahirkan dari sosok yang selama ini ditentangnya: Sukarno. 

Lahirnya Golongan Fungsional

Pada mulanya, Golongan Karya diciptakan sebagai wadah bagi organisasi-organisasi yang disebut sebagai “golongan fungsional” —sebuah istilah yang untuk menyebutkannya dengan partai-partai politik. Golongan fungsional yang terdiri dari berbagai kelompok yang terdiri atas dasar ideologi atau pandangan politik, tetapi berdasarkan fungsi kekaryaannya dalam masyarakat. Misalnya, golongan buruh, guru, tani, pemuda, seniman, atau wartawan. Golongan fungsional yang diidealkan bisa menjadi wadah penyalur aspirasi di luar partai-partai politik.

Gagasan tentang pembentukan wadah bagi golongan fungsional ini muncul dari kegelisahan Sukarno dan Panglima Angkatan Bersenjata Jenderal Abdul Haris Nasution melihat rapuh dan tidak stabilnya bangunan politik Indonesia akibat berlibat di parlemen. Mereka tidak sabar dengan pergocohan para politisi.

Sukarno dan Nasution memang bisa dianggap sebagai representasi dari tokoh sipil dan militer. Dalam arti yang nyata, mereka betul-betul Alibaba terhadap partai. Dua orang ini dan juga dikenal memiliki kecerdasan yang sama masalah negara yang terkoyak-koyak Akibat ulah partai-partai politik. 

Bentuk bermula negara proklamasi, Soekarno menghendaki bentuk partai tunggal yang menaungi semua golongan politik di Indonesia. Ia tidak mau republik terkotak-kotak dalam sekat ideologi. Jika kita telusuri Fakta Soekarno sejak muda, memang terasa sekali antipatinya terhadap partai politik.

Nasution setaliata uang. Ia juga menghendaki peran partai yang ditepikan karena hanya memecah belah persatuan yang dengan susah payah dibangun. Sejak awal 1950-an, Nasution telah sangat kritis terhadap sikap partai di parlemen — sebuah kebijakan yang lazim di dimensi militer segenerasinya.

Seperti halnya Herbert Feith dalam  Penolakan Demokrasi Konstitusional di Indonesia  (1962), Demokrasi Parlementer saat itu dianggap sebagai kesalahan dan tidak sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia yang gemar bermusyawarah. Selama periode pasca-Pemilu (1955-1957), pada tingkat penentuan kebijakan, banyak terjadi jalan buntu yang semakin dianggap sebagai biang masalah. 

Di tingkat eksekutif pun sama. Kabinet-kabinet yang sering bergonta-ganti itu tidak mampu meningkatkan kebijakan yang mendorong semakin turunnya masyarakat untuk sistem demokrasi parlementer.

Maka di tengah-tengah politik yang pelik itu, Sukarno kemudian disebut terobosan untuk memecahkan masalah-masalah tersebut dan seperti menemukan kembali teori hukum tentang komite tunggal dalam wujud golongan fungsional. Awalnya Soekarno sempat merahasiakan gagasannya. Ia hanya mengkomunikasikan hal itu dengan beberapa orang kepercayaannya, termasuk Nasution. Setelah dirasa telah mencapai jumlah yang cukup, Sukarno mulai secara terang-terangan melakukan serangan terhadap partai-partai dan menawarkan alternatif bagi sistem kepartaian. 

Serangan paling mengguncang datang dari pidato tanggal 28 Oktober 1956. Ia menyerukan untuk “mengubur partai-partai politik”. Inilah sebenarnya puncak kemuakan Soekarno terhadap sistem kepartaian dan bisa dilihat sebagai tanda-tanda darinya untuk kembali terjun urusan kondisi politik praktis. 

“Pada 28 Oktober 1956, Soekarno masuk secara eksplisit ke dalam arena politik dengan memisahkan rangka politik dengan pembubaran partai-partai,” tulis David Reeve. 

Sejak pidato itu, Sukarno menciptakan pertemanan untuk mewacanakan golongan fungsional sebagai alternatif bagi sistem kepartaian. Apalagi ia mendapat tawaran dari Nasution dan tentara. Ia kemudian meluncurkan dengan cepat ke fungsionalitas yang berkaitan dengan restrukturisasi politik di Indonesia.

Puncaknya terjadi pada Februari 1957 melakukan berbagai kegiatan di luar bagi kemelut politik yang terjadi selama bertahun-tahun. Pidato ini kelak dikenal sebagai “Konsepsi Presiden 1957” dan dianggap sebagai pintu masuk menuju Demokrasi Terpimpin. Pada kesempatan inilah Soekarno secara resmi mengumumkan gagasan tentang golongan fungsional. 

Setelah pidato itu, pernikahan dilakukan dalam berbagai tingkat untuk mewujudkan konsep-konsep dalam Konsepsi Presiden. Soekarno Sendiri bahkan Sampai turun-serbi untuk review Merayu different  onderbouw  partai politik Yang mengurusi Kelompok Profesi untuk review Meninggalkan induknya Dan Bergabung DENGAN organisasi serta golongan Fungsional. Sebagian Menerima, sebagian menolak. 

Mereka yang menerima yang kemudian bermufakat untuk mendirikan organisasi konfederasi pada tahun 1964 dengan nama Sekretariat Bersama Golongan Karya — cikal bakal Partai Golkar hari ini.

Sumber: https://tirto.id/bagaimana-sukarno-menciptakan–partai–golkar-cumo

Komentar (0)


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Bidang yang harus diisi ditandai *