Bagaimana Gajah Mada Menjadi Mahapatih?

Risa Herdahita Putri
Jurnalis historia.id


ARYA TADAH,  patih amangkubhumi   Kerajaan Majapahit sedang sakit. Da tak enak hati karena sering absen menghadap Tribhuwana Tunggadewi. Dia pun berkemah pengunduran diri, tapi Sang Rani menolak. 

Arya melayani Gajah Mada agar suka menjadi patih, tapi bukan  amangkubhumi.

“Seganlah saya. Jika nanti sepulang dari Sadeng, saya baru mau. Maafkanlah segala kerusakan saya. Mudah-mudahan saya bisa, ”jawab Gajah Mada.

“Baiklah anakku, dalam segala kesulitan kamu akan saya bantu,” janji Arya.

Gajah Mada kemudian berangkat ke Sadeng untuk memadamkan pemberontakan terhadap Majapahit. Jika berhasil di Sadeng, dia akan terima tawaran seniornya itu. Namun, alangkah sedihnya hatihnya bercerita tentang pengepungan Sadeng telah terjadi sebelum kedatangannya.

Ra Kembar mendahului Gajah Mada. Mendengar berita itu, para menteri dan patih sangat marah. Patih amangkubhumi mengirim  pesan  mantra  bersama 30 orang untuk mencegah Kembar dan pasukannya agar tak menyerbu Sadeng.

Ketika datang, Kembar sedang duduk di atas batang. Posisinya seperti orang mengendarai kuda. Tangannya membawa cemeti.

Para utusan menyampaikan pesan  patih amangkubhumi  agar menghajar Kembar karena mendahului perintah kerajaan. Bukannya gentar, Kembar malah memecut dahi perpisahan itu. Kebebasan melangsungkan berkelit, bersembunyi di balik batang kayu. 

“Kembar tiada takut tuanmu!” Kata Kembar. 

Mendengar ucapan itu, para tetangga kembali dan mengucapkan ujaran Kembar itu.

Untuk menghindari sengketa antara Kembar dan Gajah Mada yang sedang kecewa, Sang Rani datang ke Sadeng memimpin tentara Majapahit. Kemenangan atas Sadeng pun akhirnya mencatatkan nama Sang Rani.

Nagarakrtagama  hanya menulis sepintas bahwa pemberontakan di Sadeng terjadi pada 1253 Saka atau 1331 M.  Serat Pararaton  mencatat tahun yang sama lewat  candrasangkala,  kaya bhuta non daging berarti  seperti raksasa melihat daging.

Dalam  Nagarakrtagama , memutar Sadeng disatukan dengan memutar di Keta. Sementara dalam  Pararaton  penundukan Keta tak disinggung sama sekali.

Hal yang sama dilakukan dalam pemberitaan tentang penumpasan pemberontakan Nambi dan Wiraraja di Pajarakan dan Lumajang. Penumpasan itu dilakukan dalam rentetan dan dianggap sebagai satu pemutaran saja.

Menurut arkeolog Agus Aris Munandar, baik Sadeng maupun Keta ada di wilayah Besuki. Dalam  Gajah Mada Biografi Politik,  Agus menjelaskan membuat Gajah Mada pesan jadi patih oleh Arya Tadah, dia telah berkedudukan sebagai Patih Daha (Kadiri), salah satu wilayah paling penting Majapahit. Hayam Wuruk sebelum jadi raja, memungkinkan ditunjuk oleh ibunya untuk menghasilkan wilayah itu. 

“Dia sangat mungkin dilakukan sebagai penguasa Daha dan didampingi oleh Gajah Mada,” tulis Agus. 

Adapun Kembar menurut Agus punya alasan mengapa serangan Sadeng mendahului Gajah Mada. Dia berkeinginan juga menjadi  patih amangkubhumi  dirasakan Arya Tadah.

Namun, pada akhirnya tetap Gajah Mada yang diangkat sebagai  patih amangkubhumi.  Sementara Kembar menjadi  bekel  (koordinator) para  mantra araraman  (kekuatan pendek pemukul musuh). Para pahlawan Majapahit lainnya, seperti Jaranbhaya, Jalu, Demang Buncang, Gagak Minge, Jenar, Arya Rahu, dan Lembu Peteng menjadi pejabat setingkat tumenggung.

Setelah menjadi patih, Gajah Mada mengucap Sumpah Palapa di balairung istana di depan para pembesar Majapahit. Namun, mantan patih Arya Tadah malah mengoloknya. Dia bersama Jabung Tarewes, Lembu Peteng, Kembar, dan Warak, menertawakannya.

Gajah Mada tidak pernah membalas ke halaman istana menantang Kembar yang congkak. Dalam perkelahian, Gajah Mada menewaskan Kembar. Begitu juga Warak, Jabung Tarewes dan Lembu Peteng.

“Dengan demikian melalui sumpah itu Gajah Mada telah membuka jalan mempersatukan Nusantara,” tegas Agus.

Sumber: https://historia.id/kuno/articles/bagaimana-gajah-mada-menjadi-mahapatih-P7JQ5

Komentar (0)


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Bidang yang harus diisi ditandai *