Analisis Buku “Pemberontakan Petani Banten 1888”

Savran Billahi

Mahasiswi Sejarah Universitas Indonesia


Pemberontakan Petani Banten 1888 adalah karya historiografi Sartono Kartodirjo yang membahas pergolakan sosial, atau seperti yang disebut Sartono “kerusuhan”, di Banten 1888. Ada beberapa arti penting penulisan sejarah yang dilakukan oleh Sartono Kartodirjo ini. Pertama, karya ini merupakan studi awal mengenai gerakan sosial di Indonesia, sehingga sampai sekarang karya-karya sejenis dengan ruang lingkup spasial dan temporal berbeda bermunculan. Kedua, studi ini juga merupakan anti-tesis, yang ditulis Sartono sebagai kritik, terhadap historiografi kolonial yang Belanda-sentris; menekankan pada lembaga-lembaga pemerintah dan menganggap rakyat dan kaum tani memainkan peran pasif. Ketiga, studi ini membangkitkan penulisan sejarah lokal, yang ternyata kompleks dan memiliki makna. Keempat, pendekatan multi-dimensional yang digunakan Sartono juga tidak kalah penting. Ia menyebutkan, tinjauan mengenai beberapa studi sebelumnya mengabaikan aspek-aspek lain. Contohnya adalah studi Drewes yang mengabaikan “dinamika kultural aliran-aliran mesianik” atau Cohen Stuart dan Brandes yang menyajikan studi mengenai para pembawa gagasan konstitutif gerakan milenari di Jawa, namun tidak menyoroti fakta-fakta yang menyangkut kolektif sosial. Lebih lanjut lagi, De Indische Gids yang penulisnya anonim, meskipun menghimpun informasi faktual yang terperinci, namun tidak menyebutkan dari mana sumber yang dipakai berasal. Sartono pun menyatakan sejumlah studi mengenai gerakan sosial—pada saat itu—masih terpencar-pencar. Keempat hal ini merupakan sumbangan bermakna bagi perkembangan penulisan sejarah Indonesia, baik dari pemilihan topik sampai pendekatan yang digunakan.

Selain dari makna historiografi karya ini, untuk mengomentari lebih lanjut tidak lengkap bila tidak meninjau isinya. Secara pribadi, saya sepakat dengan penjelasan Sartono yang menyatakan bahwa pemberontakan petani Banten 1888 adalah gejolak yang ditimbulkan gerakan milenari, karena dapat dibuktikan bahwa pemberontakan itu kental dengan ramalan akan tibanya Mahdi dalam Islam. Secara terperinci misalnya, sebelum keberangkatan Haji Abdul Karim ke Mekkah, ia mengumumkan kepada rakyat bahwa ia akan kembali ke Banten kira-kira pada saat kedatangan Mahdi sedang dinantikan. Disebutkan pula pertanda-pertanda lainnya mengenai akan segera tibanya hari kiamat, seperti gempa bumi, letusan gunung berapi, hujan darah, wabah penyakit ternak, dan sebagainya. Bencana dan malapetaka itu ditafsirkan berdasarkan ramalan-ramalan tersebut dan menimbulkan emosi yang luar biasa serta kecemasan yang besar di kalangan rakyat. Sejumlah bencana yang disebutkan sekitar masa itu memang terjadi di Banten, misalnya yang populer adalah bencana letusan Gunung Krakatau.

Selain itu, ketidaksukaan rakyat terhadap peraturan pemerintah, seperti penarikan pajak, dan penetrasi administrasi kolonial hingga ke desa-desa menciptakan upaya untuk menentangnya habis-habisan. Di dalam periode kesulitan sosial itu, saat rakyat dilanda frustasi dan penetrasi kolonial yang menekan, kepercayaan tentang Mahdi merupakan alat cocok untuk membangkitkan mereka agar melawan dominasi kolonial. Dalam hal ini para kiai terus tanpa henti berusaha menanamkan kecurigaan yang mendalam terhadap kolonial.

Namun, saat Sartono menyatakan bahwa gerakan milenari itu bersifat Islam klasik, saya agak menyangsikannya. Di samping apa yang disebutnya “klasik”, gerakan itu juga terintenalisasi oleh Pan-Islamisme dan kebangkitan agama yang tidak semua unsurnya bersifat klasik. Namun dapat dipahami bahwa ramalan-ramalan akan tibanya Mahdi, serta dikuatkan oleh ketaataan buta kepada guru atau disebut Sartono “perinde ac cadaver” sangat kuat di kalangan masyarakat. Sosok Mahdi yang ada di imajinasi para pemberontak dapat dimaknai sebagai seorang revolusioner, sehingga tidak salah gerakan itu ingin melakukan upaya-upaya revolusi.

Di samping itu, gerakan pemberontakan ini bukan hanya gerakan kebangkitan agama, melainkan juga bentuk gerakan protes politik. Sehingga pernyataan Residen Priangan “seluruh persoalan itu bersifat politik dan bukan keagamaan” tidak dapat dikesampingkan. Meskipun saya tidak yakin seluruhnya, karena gerakan itu muncul atas reaksi keprihatinan terhadap kemerosotan iman di kalangan rakyat, tetapi kepentingan yang bersifat politik ada pula di dalamnya.

Secara sistematis, Sartono, setelah di awal buku menjelaskan mengenai konsep-konsep awal dengan baik, menjelaskan pematangan dan jalannya pemberontakan dengan kronologis. Dari pematangan sekiranya ada tiga tahapan yang dapat disimpulkan, yaitu proses pematangan pada 1884, propaganda yang meluas dengan ditandai kepulangan Haji Marjuki pada 1887, dan persiapan final sekaligus menjalankan pemberontakan pada 1888. Saat persiapan final, pertemuan-pertemuan para pemimpin pemberontakan yang bersifat rahasia dan terselubung dijelaskan jelas oleh Sartono. Tetapi, saat Sartono sendiri menanyakan bagaimana hal tersebut tidak diketahui oleh pemerintah kolonial, ia hanya menjelaskan bahwa hal itu disebabkan para pejabat pribumi menganggap aktivitas di masjid-masjid adalah hal yang biasa di Banten, sehingga dari pemerintah kolonial pun tidak ada perhatian. Penjelasan itu perlu diragukan, karena Sartono sendiri memang menyatakan sulit menemukan fakta-fakta yang khusus mengenai itu. Diragukan artinya, tidak mustahil pemerintah kolonial sudah mengetahui dan menyiapkan perlawanannya. Kalau pun memang tertutupi, tidak menutup kemungkinan ada penjelasan-penjelasan lanjutan selain jawaban yang diberikan Sartono, sehingga lebih tergambarkan bahwa aktivitas para pemimpin pemberontakan memang sangat rahasia. Sartono menjelaskan jalannya pemberontakan secara runtut, dimulai dari peristiwa pertama, yaitu penyerbuan Rumah Dumas, seorang juru tulis di kantor asisten residen, sampai terjadinya serangan umum.

Gerakan pemberontakan di Banten itu, kendati Sartono memberikan judul sebagai Pemberontakan Petani, juga dapat disebut sebagai pemberontakan para kyai, termasuk pula para haji dan guru agama. Hal itu dapat ditinjau pada bab enam, Sartono secara khusus menyatakan “akan memusatkan uraian kita tentang pemberontakan itu terutama pada kegiatan pemimpin-pemimpin itu”, yang dimaksud pemimpin-pemimpin itu, seperti disebutkan di awal bab itu ialah; Haji Abdul Karim, Haji Tubagus Ismail, dan Haji Wasid. Jaringan dan pertemuan antar mereka pun ditulis secara cermat oleh Sartono, para kyai itu sering mengadakan pertemuan dengan kedok pesta, seperti pesta perkawinan yang diselenggarakan Bupati Pandeglang pada 28 Juni sampai 1 Juli 1888, maleman di rumah Haji Marjuki, Haji Akhmad, dan Haji Asnawi, dan sebagainya. Puncaknya, kaum pemberontak memberi hormat kepada Haji Wasid, Haji Tubagus Ismail, dan Agus Suradikaria sebagai “Raja Islam”, meskipun Haji Tubagus Ismail sudah cukup puas sebagai tangan kanan Haji Wasid. Apa yang sering dikemukan para kiai; Perang Sabil adalah analogi yang cukup menggambarkan bahwa peran para kiai cukup signifikan. Porsi pembahasan yang tidak sedikit terhadap aktivitas para kiai itu menunjukkan bahwa pemberontakan di Banten itu dapat disebut sebagai pemberontakan kiai, meskipun secara profesi, seperti yang ditampilkan di lampiran, sejumlah kiai itu juga petani.

Keterlibatan para kiai itu juga dipertegas oleh Sartono sendiri dalam kesimpulannya, gerakan di Banten itu memperoleh warnanya dari suatu versi eskatologi Islam dan dari Mahdisme, yang dicampur dengan unsur-unsur nativistik kebudayaan Banten. Tokoh messiah, Ratu Adil, yang merupakan pusat gerakan-gerakan mesianik Jawa pada abad ke-19 sama sekali tidak dikenal di Banten. Namun, wajar bila Sartono menggunakan “petani” sebagai pendekatan pada judul, karena tulisannya ini bertujuan mendorong pergeseran minat historiografi ke arah Indonesia-sentris. Artinya, “petani” menjadi gambaran “rakyat” dan sebagai bentuk perlawanan, atau anti-tesis dalam aktivitas akademis, terhadap historiografi kolonial yang cenderung mengabaikan peran mereka.

Meskipun pemberontakan itu tidak berlangsung lama, dan tidak berhasil dengan ditangkapnya para pemberontak dan vonis hukuman mati, gerakan itu adalah gambaran dari benturan antara penduduk pribumi dan pemerintah kolonial, yang ditelaah oleh Sartono menggunakan berbagai pendekatan, seperti kelas-kelas sosial, faktor kultural yang tertanam dalam masyarakat Banten, agama, serta kondisi ekonomi dan sosial pada saat itu.

Sumber: https://www.academia.edu/31726865/Ulasan_Buku_Pemberontakan_Petani_Banten_1888_Sartono_Kartodirdjo.docx

Komentar (0)


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Bidang yang harus diisi ditandai *