Anak-Anak Pedalaman Borneo Pertengahan Abad Ke-19

Alfred Russel Wallace

Akhir November 1855. Menjelang sore, kami sampai di Tabókan, kampung pertama di Dyak Bukit. Di tanah lapang dekat sungai, ada 20 anak laki-laki yang sedang melakukan suatu permainan yang di Inggris biasa disebut prisoner’s base. Anak-anak tersebut mengenakan perhiasan manik-manik dan kawat-kawat kuningan. Mereka juga mengenakan ikat kepala berwarna cerah dan sehelai kain yang diikatkan di pinggang. Sangat menyenangkan melihat anak-anak dengan penampilan menarik seperti itu.

Setelah dipanggil Bujon, anak-anak tersebut segera meninggalkan permainan dan membawa barang-barang saya ke rumah utama—sebuah bangunan berbentuk bundar—yang memiliki banyak kegunaan. Selain digunakan sebagai penginapan orang asing, tempat yang kami tempati juga berfungsi sebagai tempat berdagang, ruang tidur para bujangan dan ruang pertemuan. Rumah utama didirikan di atas tiang-tiang yang tinggi dan mempunyai sebuah perapian besar di tengah-tengah ruangan. Semua jendela di atap berbentuk bundar. Rumah tersebut sangat menyenangkan dan nyaman.

Pada malam hari, rumah tersebut ramai akan kehadiran pemuda dan anak laki-laki yang ingin bertemu dengan saya. Saya sangat mengagumi pakaian mereka yang begitu sederhana dan anggun. Mereka hanya mengenakan sehelai kain di pinggang atau cawat, yang menggantung di bagian depan dan belakang. Cawat yang mereka pakai terbuat dari kain katun berwarna biru, sedangkan ujungnya berupa tiga pita lebar berwarna merah, biru dan putih. Golongan yang lebih kaya memakai kain ikat kepala berwarna merah dengan renda warna emas di tepinya, atau memiliki tiga warna, seperti halnya warna cawat.

Orang Dyak mengenakan perhiasan berupa anting, kalung dan gelang. Anting-anting terbuat dari kuningan dan berbentuk bulat pipih besar, sedangkan kalungnya yang berat berupa manik-manik berwarna putih atau hitam. Sederetan gelang kuningan dipakai di pergelangan tangan dan kaki. Gelang lengan terbuat dari kulit kerang warna putih. Perhiasan tersebut dikenakan untuk mengurangi kekontrasan warna kulit mereka yang cokelat kemerahan dengan rambut yang hitam legam. Selain itu, orang Dyak juga membawa kantung kecil berisi bahan-bahan untuk menyirih dan sebilah pisau tipis. Kedua benda tersebut dikenakan di pinggang. Seperti itulah pakaian sehari-hari laki-laki muda Dyak.

Setelah kepala suku, Orang-kaya datang dengan diiringi beberapa orang tua. Pembicaraan pun dimulai. Pembicaraan kali ini membahas mengenai kemungkinan saya mendapatkan perahu dan seorang pemandu jalan untuk perjalanan besok pagi. Karena saya tidak memahami bahasa yang dipakai dalam pembicaraan—menggunakan bahasa yang jauh berbeda dengan bahasa Melayu—pembantu saya, Bujon, menerjemahkan sebagian besar pembicaraan itu. Seorang pedagang Cina juga ada di situ untuk kepentingan yang sama dengan saya, yaitu mendapatkan pemandu jalan. Akan tetapi, Orang-kaya mengisyaratkan dengan tegas bahwa urusan dengan orang kulit putih sedang dirundingkan. Pedagang Cina dipersilakan menunggu sampai hari berikutnya untuk merundingkan maksudnya.

Setelah pembicaraan selesai dan kepala suku pergi, saya meminta para pemuda untuk menghibur saya dengan permainan atau tarian khas. Setelah hening sesaat, mereka setuju untuk melakukannya. Mula-mula, para pemuda bermain adu kekuatan. Dua anak laki-laki duduk berhadap-hadapan. Kaki mereka ditempatkan berhadapan satu sama lain. Sebatang tongkat dipegang oleh mereka berdua. Tiap anak mencoba membuat lawannya bangkit dari duduknya, baik dengan kekuatan ataupun dengan gerakan mendadak.

Permainan kedua, yang juga merupakan permainan adu kekuatan, dimainkan oleh satu orang laki-laki melawan dua atau tiga anak laki-laki. Dua atau tiga anak laki-laki memegang tumit masing-masing dengan satu tangan, sedangkan seorang yang lain berdiri kokoh di dekat mereka. Selanjutnya, mereka berputar-putar pada satu kaki dan menubrukkan kaki yang lain ke kaki anak yang berdiri agar anak tersebut terjatuh.

Setelah semua permainan selesai, mereka mempertunjukkan sebuah konser musik. Beberapa pemuda duduk bersila dan membuat bunyi dengan menepukkan jari-jari di pergelangan kaki. Anak laki-laki yang lain menepuk-nepukkan tangan di pinggul menirukan suara ayam berkokok, sedangkan anak-anak lain memasukkan tangan ke bawah ketiak sehingga menghasilkan nada terompet yang tinggi. Karena mereka mengikuti tempo, musik yang dihasilkan cukup baik. Saat itu menjadi momen yang cukup menyenangkan apalagi mereka menunjukkan permainan dengan penuh bersemangat.

Keesokan harinya, kami berangkat dengan memakai sebuah perahu yang panjangnya 30 kaki dan lebarnya 28 inci. Di sini tiba-tiba sungai berubah karakter. Sebelumnya, meskipun arusnya kuat, namun sungainya dalam dan tenang. Sungai diapit oleh tebing-tebing terjal dan berarus deras. Kami kemudian melalui dasar sungai yang berkerikil, berpasir dan berbatu karang. Kadang-kadang kami bertemu dengan air terjun kecil atau jeram. Di kanan-kiri sungai terdapat kerikil-kerikil berwarna-warni yang indah. Dayung tidak dapat digunakan di sini, sehingga perahu dijalankan dengan menggunakan galah bambu. Kecepatan perahu tidak kalah dengan kecepatan perahu yang menggunakan dayung. Orang-orang Dyak sangat tangkas dan mereka tidak pernah kehilangan keseimbangan meskipun harus berdiri tegak di atas perahu.

Hari itu sangat cerah. Air yang mengalir berkilau-kilauan, sementara dedaunan di kedua tebing nampak bersinar. Kerindangannya melindungi kepala kami, sehingga mengingatkan saya ketika menyusuri sungai-sungai besar di Amerika Selatan dengan menggunakan kano.

Menjelang sore, kami sampai di Kampung Borotói. Saya harus bermalam di sini meskipun kampung berikutnya bisa dicapai sebelum malam. Para pengantar saya harus pulang ke kampungnya dan beberapa yang lain tidak diperkenankan pergi sebelum ada pembicaraan lebih lanjut. Lagipula, biasanya seorang kulit putih sangat jarang melepaskan mereka begitu saja. Para istri juga tidak akan memaafkan jika suami mereka pulang ke rumah tanpa menceritakan hal-hal yang memancing keingintahuan para istri.

Setelah memasuki rumah orang yang mengundang saya, sekitar 60 atau 70 orang, laki-laki, perempuan dan anak-anak mengelilingi saya. Selama setengah jam saya menjadi pusat perhatian mereka. Saya bagaikan seekor hewan aneh yang baru pertama kali mereka lihat. Anting-anting kuningan yang sangat banyak merupakan lambang kekayaan. Sebagian besar perempuan Dyak juga memakai gelang kuningan di lengan dan kaki, mulai dari pergelangan kaki sampai ke betis.

Di pinggang, mereka memakai selusin atau lebih gelang-gelang rotan halus yang diberi warna merah. Gelang-gelang tersebut digunakan untuk mengaitkan rok dalam. Pada umumnya, bagian bawah rok dihiasi gulungan kawat kuningan. Ikat pinggang perempuan Dyak berupa untaian mata uang perak kecil atau untaian gelang berlapis kuningan. Sebagai penutup kepala, perempuan Dyak memakai sebuah topi berbentuk kerucut tanpa puncak. Penutup kepala tersebut terbuat dari gelang-gelang rotan yang berhiaskan manik-manik berwarna. Hiasan kepala tersebut sangat fantastis dan indah.

Saya menuju sebuah bukit kecil di dekat kampung yang telah dijadikan sawah. Dari bukit tersebut, saya mendapati pemandangan kampung yang bagus. Daerah sekeliling kampung berbukit-bukit, sedang daerah di sebelah selatan bergunung-gunung. Saya kemudian menentukan letak kampung dengan memakai kompas dan membuat sketsa pemandangan daerah itu. Orang-orang Dyak belum pernah melihat kompas sehingga mereka meminta supaya saya menunjukkan kompas itu lagi. Sekali lagi saya dikelilingi oleh kerumunan orang, bahkan kali ini lebih banyak daripada sebelumnya. Saya makan malam di tengah kerumunan sekitar 100 penonton yang dengan penuh minat memperhatikan tiap gerakan dan menilai tiap suapan saya. Mau tak mau saya teringat pada singa yang sedang makan. Meniru hewan kelas atas tersebut, selera makan saya pun tidak terpengaruh dengan para penonton.

Anak-anak di kampung ini lebih pemalu daripada anak-anak di Tabókan. Saya tidak dapat membujuk mereka untuk bermain. Akhirnya, saya mengadakan pertunjukan dengan memperlihatkan bayangan seekor anjing yang sedang makan. Anak-anak Dyak sangat senang melihat pertunjukan ini sehingga semua orang kampung datang berduyun-duyun ikut menonton. Bayangan kelinci tidak saya tunjukkan karena di Borneo tidak ada kelinci. Anak-anak Dyak mempunyai permainan gasing, mirip dengan permainan whipping top di Inggris, tetapi gasing anak Dyak diputar dengan tali.


Dikutip dengan seizin penerbit Komunitas Bambu dari buku Alfred Russel Wallace, Kepulauan Nusantara, hlm. 47-54. Bukunya tersedia juga di Tokopedia, BukaLapak, Shopee atau kontak langsung ke WA 081385430505

Komentar (0)


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Bidang yang harus diisi ditandai *