Achmad Mochtar Sang Perintis Penelitian Biomedis Nusantara

Oleh Sudirman Nasir
Alumnus Fakultas Kedokteran, Mengajar di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin; Anggota Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI)


Banyak ilmuwan biomedis, dokter, dan tenaga kesehatan Indonesia kini tengah berjibaku menghadapi COVID-19, termasuk mengupayakan penemuan vaksin untuk mengatasi pandemi ini atau penemuan metode agar kepatuhan terhadap protokol kesehatan semakin meningkat. Tak banyak di antara ilmuwan dan profesional kesehatan itu yang masih mengenal sebuah nama besar, Professor Achmad Mochtar, seorang perintis penelitian biomedis di Nusantara. Mochtar, ilmuwan dan dokter dengan reputasi dunia, direktur pertama berkebangsaan Indonesia di Lembaga Eijkman (lembaga penelitian biologi yang didirikan di Batavia pada masa pemerintahan kolonial Belanda), yang nasibnya tragis.

Ia dipancung Kenpeitai (Dinas Rahasia Jepang masa penjajahan) di sebuah tempat sepi di Ancol pada 3 Juli 1945. Mochtar dihukum mati karena dituduh memimpin tindakan sabotase mencemari vaksin tifus-cholera-disentri dengan kuman tetanus yang menyebabkan ratusan romusha tewas. Sebuah tuduhan tanpa dasar. Mochtar menjadi tumbal untuk menutupi kejahatan perang tentara pendudukan Jepang.

Buku Eksperimen Keji Kedokteran Penjajahan Jepang: Tragedi Lembaga Eijkman dan Vaksin Maut Romusha 1944-1945, diterbitkan Komunitas Bambu dan belum lama diluncurkan pada pada 30 September 2020 lalu. Peluncuran buku berlangsung di kompleks makam Ereveld Ancol, tempat di mana Mochtar dikebumikan, dan buku ini mengulas tragedi tersebut. Buku ini adalah terjemahan Bahasa Indonesia dari buku yang terbit pertama kali dalam Bahasa Inggris berjudul War Crimes in Japan-Occupied Indonesia (The University of Nebraska, 2015), yang ditulis dua ilmuwan biomedis ternama yakni J. Kevin Baird dan Sangkot Marzuki.

Baird dan Marzuki adalah orang-orang sangat tepat untuk menulis peristiwa kelam ini. Keduanya memang bukan sejarawan melainkan ilmuwan kedokteran namun dengan kesadaran dan minat sejarah yang kuat. Baird adalah Direktur Eijkman-Oxford Clinical Research Unit (EOCRU) sementara Marzuki adalah Direktur Lembaga Biologi Molekuler Eijkman di Jakarta (1992-2004). Keduanya memiliki ikatan emosional yang kuat dengan sosok Achmad Mochtar karena minat yang sama pada ilmu kedokteran serta kedekatan pada lembaga di mana Mochtar pernah bekerja (yaitu Lembaga Eijkman).

“Mochtar, ilmuwan dan dokter dengan reputasi dunia, direktur pertama berkebangsaan Indonesia di Lembaga Eijkman (lembaga penelitian biologi yang didirikan di Batavia pada masa pemerintahan kolonial Belanda), yang nasibnya tragis. Ia dipancung Kenpeitai (Dinas Rahasia Jepang masa penjajahan) di sebuah tempat sepi di Ancol pada 3 Juli 1945.”

Baird dan Marzuki secara tegas menyatakan kedekatan dan pemihakan pada sosok Mochtar yang dikambinghitamkan oleh tentara pendudukan Jepang untuk menghindari konsekuensi kejahatan perang selama perang Asia Timur Raya. Sebagai ilmuwan biomedis yang sangat paham pada proses dan upaya kompleks penemuan vaksin, keduanya secara rinci menunjukkan betapa rapuhnya dasar tuduhan tentara Jepang pada sosok Mochtar.

Keduanya secara meyakinkan pula memandu pembaca memahami konstelasi sains biomedis saat itu serta juga tali-temali hubungan persahabatan dan kekerabatan erat antara para dokter-ilmuwan alumni STOVIA seperti Mochtar dan dokter-dokter lain yang turut ditahan dan disiksa oleh Kenpeitai dalam tragedi ini. Mochtar merelakan diri dijadikan tumbal dengan imbalan berupa pelepasan dan keselamatan sejawat-sejawatnya. Mochtar dengan demikian bukan hanya contoh nyata seorang ilmuwan cemerlang namun juga pimpinan dan sejawat yang sangat mulia.

Buku ini adalah sumbangan sangat penting untuk lebih memahami masa pendudukan Jepang di Nusantara dan demi menguak konteks tragedi Mochtar. Baird dan Marzuki juga memberi ulasan cukup panjang mengenai riwayat hidup dan perjalanan karir Mochtar sebagai individu dan ilmuwan. Ulasan mengenai kebijakan terkait romusha selama pendudukan Jepang serta sikap berbeda para bapak bangsa seperti Soekarno dan Hatta dalam melihat sosok Mochtar (Hatta terang-terangan membela Mochtar, sikap yang sangat kontras dengan Soekarno yang menyalahkan ilmuwan hebat ini), membuat pembaca dapat melihat kompleksitas jaman menjelang kemerdekaan Republik Indonesia itu. Buku ini juga adalah upaya penting untuk memulihkan dan memuliakan nama Achmad Mochtar.


Sumber Resensi: jalankaji.net

Komentar (0)


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Bidang yang harus diisi ditandai *