Toeti Heraty Noerhadi Roosseno
Penulis
Toeti Heraty Noerhadi Roosseno
Kepribadiannya yang begitu bersahaja disertai pemikiran yang logis, cemerlang dengan logika yang sangat runut dan argumentatif menjadikan perbincangan dengan professor filsafat ini begitu mengalir bak aliran sungai jernih menuju samudera luas. Ketika kami bertandang ke rumah seninya di daerah Menteng nan asri, beliau banyak bercerita tentang pengalaman hidupnya yang paling berkesan. Meski usia sudah tidak lagi muda, namun nampak dari raut wajahnya optimisme dan gairah hidup yang luar biasa. Toety Heraty lahir di Bandung, 27 November 1933, dari seorang ayah bernama Rooseno Soerjohadikoesoemo dan ibunya, RA Oentari. Kebesaran sang ayah yang merupakan guru besar di Institut Teknologi Bandung dan pernah menjadi Menteri Perhubungan dalam Kabinet Ali Sastroamidjojo serta beberapa jabatan penting lainnya tidak menjadikan Toety kecil manja, apalagi bermalas-malasan untuk sekolah. Ia menempuh pendidikan sarjana muda kedokteran di Universitas Indonesia (1955), kemudian melanjutkan studi di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (1962), dan pada tahun 1974 ia menjadi sarjana filsafat dari Rijk Universiteit, Leiden,
Belanda. Pada tahun 1979 ia dapat menuntaskan studi doktornya dari Universitas Indonesia. Ia bercerita bahwa ketika ia menggeluti ilmu kedokteran, ia merasa ilmu tersebut tidaklah mencukupi untuk mengerti lebih baik tentang hakikat manusia. Itulah yang mendorong dirinya untuk kemudian mendalami ilmu psikologi. Ketika ia mendalami ilmu psikologi ia punya harapan baru untuk mengerti hakikat manusia lebih dalam lagi. Meski sudah mendalami ilmu tentang kejiwaan tersebut, ia masih saja merasa kurang. Ia membutuhkan ilmu lain untuk mengerti arti manusia secara utuh. Itulah yang mendorong dirinya kemudian menekuni dunia filsafat. Di dalam dunia filsafatlah ia menemukan beberapa jawaban yang selama ini ia cari.
Mungkin karena itu, selain dukungan otak dan ketekunan, Toety menganggap banyak hal yang terjadi dalam hidupnya— termasuk perjalanan studinya—sebagai sebuah kebetulan. Banyak hal yang tidak disengaja yang justru terjadi dalam hidupnya. Tidak disengaja menjadi penulis dan penyair, tidak disengaja masuk bisnis serta hak dan kekayaan inteleketual (HAKI), dan sebagainya.
Ketika ditanya apa sebenarnya yang mendorongnya mendalami filsafat, ia menyampaikan bahwa dirinya itu memiliki jiwa yang bebas. Melalui jiwa yang bebas inilah ia bebas untuk mengukir hidupnya sendiri tanpa terpengaruh oleh orang lain. Sebagai konsekuensinya, ia harus menerima risiko apa pun sebagai konsekuensi dari pilihan hidup yang sudah diambilnya. Untuk melukiskan perasaan jiwanya yang terus menggelora, ia merasa tidak cukup hanya lewat narasi bahasa yang biasa. Untuk itu ia pun berpuisi guna menyampaikan hal-hal apa yang dipikirkan dan dirasakannya.
Sebagai pengalaman hidup, Toety pernah mengajar di Fakultas Psikologi Universitas Padjajaran di Bandung. Ia juga pernah menjadi ketua Jurusan Filsafat Fakultas Sastra Universitas Indonesia, ketua Program Pascasarjana Universitas Indonesia Bidang Studi Filsafat. Ia pun pernah menjadi rektor Institut Kesenian Jakarta dan Direktur Biro Oktroi Rooseno. Pada tahun 1994, mengikuti jejak sang ayah sebagai profesor, ia menjadi guru besar luar biasa pada Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Pada tahun 1968 sampai 1971 ia menjadi anggota Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) dan pada 1982-1985 menjadi ketua DKJ.
Di samping mengajar, Toety aktif mengikuti berbagai festival internasional, seperti Festival Penyair International di Rotterdam (1981) dan International Writing Program di Universitas Iowa (1984). Saat ini puisi-puisinya telah diterjemahkan dalam berbagai bahasa asing, seperti bahasa Belanda, Inggris, Jerman dan Perancis. Puisi-puisinya, karena barangkali juga latar belakang pendidikannya yang menggeluti filsafat, sulit untuk dimengerti. Puisi-puisinya banyak menyuarakan persoalan perempuan di masyarakat yang patriarkat. Ia banyak membela para perempuan di dalam puisi-puisinya. Ia menerbitkan kumpulan puisi pertamanya berjudul “Sajak-Sajak 33” pada tahun 1974, termasuk di dalamnya “Dua Wanita”, “Siklus” dan “Geneva Bulan Juli”. Kumpulan puisinya yang kedua, Mimpi dan
Pretensi terbit tahun 1982. Ia juga melakukan editing sebuah terbitan puisi berbahasa Belanda dan Indonesia dan sebuah koleksi puisi dari para penyair wanita. Puisinya yang berjudul “Calon Arang: the Story of A Woman Victimized by Patriarchy” adalah lirik setebal buku, yang memberikan pandangan kritis atas persepsi dari figur tipikal Indonesia, Calon Arang. Puisi ini menghadirkan gambaran tiga dimensi dari seorang wanita yang mencoba bertahan hidup terhadap lingkungan yang patriarkat dan represif, namun malangnya ia dianggap sebagai penyihir legendaris.
Tulisan-tulisan Toety, baik dalam bentuk puisi maupun prosa, banyak menyoroti persoalan wanita di Indonesia. Tidak heran jika kemudian Toety dianggap sebagai salah seorang pemikir feminis Indonesia pertama yang sangat berpengaruh. Ia merupakan salah satu pendiri Jurnal Perempuan, sebuah majalah feminis yang banyak mengangkat persoalan wanita terkait dengan kehidupan sehari-hari. Untuk advokasi persoalan wanita dan berbagai problematikanya, ia mengabadikan diri pada Suara Ibu Peduli, suatu organisasi non-pemerintah yang banyak memperjuangkan pemberdayaan wanita.
Kecintaan Toety terhadap dunia seni tidak dapat diragukan. Di samping banyak menulis puisi, ia juga aktif mengumpulkan barang-barang berharga untuk dikoleksi di rumah pribadinya. Koleksi barang tersebut tidak sembarang koleksi, melainkan memiliki nilai seni yang sangat tinggi. Persis di kawasan Menteng, tepatnya di Jln Cemara 6, rumah yang ditinggalinya berubahsuai menjadi galeri seni yang menyimpan sejumlah koleksi penting, seperti lukisan karya Affandi S Sudjojono atau Srihadi Soedarsono. Di rumah tersebut ia juga menyediakan aula yang sangat artistik untuk penyelengaraan berbagai event kebudayaan. Di sana juga terdapat beberapa kamar yang sengaja disewakan, khususya bagi para seniman dari daerah yang memang hendak melaksanakan kegiatan kesenian di Jakarta.
Rumah yang asri itu memiliki juga sejumlah koleksi buku tentang filsafat, psikologi, sosial politik, ekonomi dan lain sebagainya. Kehadiran rumah galeri di Jakarta seperti oase yang terus mengaliri padang pasir sekitarnya yang gersang. Sosok Toety Heraty sudah menjadi legenda di negeri ini, maka wajar jika ia pantas diberikan penghargaan yang tertinggi di Indonesia ini. Ia merupakan sosok yang jarang di negeri ini. Selain ahli filsafat, ia menyukai seni dan lebih daripada itu ia pun banyak terlibat dalam persoalan yang menyangkut peran wanita