Sebuah Kota Tanpa Pimpinan

Anthony Reid

Pada 14 September 1945, beberapa orang dari pasukan Belanda diterjunkan lagi di Medan. Mereka adalah Letnan Westerling yang bersifat keras dan terkenal jahat ditambah tiga sersan. Mereka didatangkan dengan membawa 180 pistol untuk melatih dan memberi perlengkapan pada pasukan polisi itu. Pada awal Oktober 1945, tampaknya Westerling telah dapat memimpin suatu pasukan berkekuatan hampir 200 orang yang lumayan persenjataannya dan cukup terlatih, ditambah beberapa ratus lagi bekas tawanan perang yang siap masuk menjadi anggota jika ada senjata yang tersedia.

Pasukan ini mengadakan penjagaan pada instalasi-instalasi penting seperti listrik dan persediaan air, juga mengadakan patroli-patroli rutin di Medan dan jalan ke pelabuhan Belawan dengan memakai beberapa kendaraan berlapis baja Jepang, lihat Enquêtecommissie VIII, hlm. 588−594. Conrad E.L. Helfrich, Memoires, (Amsterdam, Elsevier, 1950), II, hlm. 237−238. Raymond Westerling, Challenge to Terror (London, 1952), hlm. 38−50. Sementara Helfrich menyatakan dan Westerling menyiratkan bahwa kekuatan sejumlah kurang dari 200 orang untuk kepolisian itu, Brondgeest menerangkan bahwa 800 tentara Inggris yang mendarat menjelang 12 Oktober 1945 “lebih sedikit daripada apa yang berada di bawah kekuasaan saya.” (Enquêtecommissie, hlm. 588)

Belanda mengatakan, dengan sangat berlebih-lebihan, bahwa mereka berhasil menguasai kota itu sampai datangnya pasukan Inggris. Helfrich (II, 269) mengatakan bahwa kekuatan itu “sepenuhnya menguasai Medan dan daerah sekitarnya. Ada keamanan dan ketertiban.” Seorang anggota komando Belanda lain, Mayor Knottenbelt, yang singgah empat hari di Medan dalam perjalanannya ke Aceh pada permulaan Oktober 1945, melaporkan bahwa “situasidi sana tegang, tetapi dikuasai oleh seorang komandan polisi yang sangat cakap Raymond Westerling,” “Contact met Atjeh”,Vrij Nederland, 19 Januari 1946.

Perhubungan radio dan pengiriman perlengkapan Sekutu lewat udara di Sumatera selama bulan-bulan pertama setelah menyerahnya Jepang lebih baik daripada di Jawa. Sejak 21 Agustus 1945 selebaran-selebaran mulai dijatuhkan di berbagai daerah di Sumatera atas nama NICA, lihat Republik Indonesia, Propinsi Soematra Oetara (Jakarta, 1954?), hlm. 39.

Di bawah perlindungan Sekutu, pemerintahan sementara NICA untuk Sumatera telah terbentuk dalam beberapa minggu sesudah Jepang menyerah. Pemerintahan NICA ini berada di bawah pimpinan Dr. Beck dan Residen Bruggemans yang baru didatangkan dari tempat tawanannya di Rantau Prapat. Pada 3 Oktober 1945, sekitar 60 lagi bekas pejabat penting Belanda didatangkan ke Medan dari kamp tawanan untuk kembali membentuk suatu ancien régime, lihat Enquêtecommissie VIII, 585−586 Willem Brandt, De Gele Terreur (Den Haag, 1946), hlm. 215−219. OvS Instituut, Kroniek, 1941−1946 (Amsterdam, 1948), hlm.45−46 dan 52.

Dalam pendapat Brondgeest, lihat Enquêtecommissie, VIII, Lampiran, hlm. 127, kecanggungan dan arogansi sebagian besar pejabat sipil senior Belanda mengingkari janji-janji resmi Belanda untuk menciptakan suatu hubungan Belanda-Indonesia tipe baru dan merusak niat baik terhadap orang-orang Eropa setelah bulan Oktober 1945.

Pemimpin-pemimpin Pemerintah Republik Indonesia yang diangkat untuk provinsi Sumatera, Mr. Teuku Hasan dan Dr. Amir, kembali ke Medan pada 28 Agustus 1945 dengan semangat yang benar-benar jatuh. Mendengar cerita yang berlebih-lebihan tentang Committee van Ontvangst di Tarutung, kegairahan Dr. Amir terhadap Republik menjadi pudar dan ragu.

Berita-berita awal yang didengar kedua tokoh ini di antara kelompok elite di Medan meyakinkan mereka bahwa baik tokoh-tokoh politik maupun tokoh-tokoh kesultanan ingin menghindari setiap langkah yang akan lebih menimbulkan kecurigaan kepada kedudukan mereka dalam hubungannya dengan Jepang maupun dengan Sekutu yang akan kembali. Tidak seperti di Jawa, tampaknya tidak ada organisasi massa atau organisasi pemuda yang dapat mereka hubungi. BOMPA telah membubarkan diri sendiri pada 23 Agustus 1945.

Dipengaruhi kekecewaan pertamanya pada awal September 1945 ini, Amir tidak kembali ke Medan sampai sekitar 10 Oktober 1945. Mr. Hasan hanya menyampaikan berita-berita tentang apa yang terjadi di Jakarta pada suatu kelompok kecil.

Pada 15 September 1945 Dr. Pirngadi menerima telegram yang bernada marah dari Dr. A.K. Gani di Palembang, menanyakan mengapa kedua pemimpin itu tidak melaksanakan apa yang telah diputuskan di Jakarta, lihat dalam Aneka Minggu, 19 Mei 1970. Sumber-sumber lain menyebutkan telegram berasal dari Adinegoro di Bukittinggi yang mungkin memperolehnya dari sumber lain. Bandingkan dengan. M. Sjarif Lubis, Mengenang Perlawanan Rakjat di Tanah Karo pada Permulaan Revolusi Pisik (naskah ketikan yang belum diterbitkan, t.t.), hlm. 5. Untuk peran Dr. Gani dan Adinegoro dalam mendirikan Republik di Sumatera lihat Reid, ”The Birth of the Republik in Sumatera”, Indonesia, 12 (1971), hlm.31−40.

Isi telegram ini tampaknya juga beredar di kalangan bekas kelompok BOMPA yang kemudian menggerakkan Mr. Hasan kembali mencoba membujuk mereka pada 17 September 1945 untuk membentuk “Komite Nasional Indonesia” (KNI) seperti yang diputuskanpertemuan-pertemuan di Jakarta.

Sekali lagi ketakutan akan kembalinya pemerintahan kolonial terlalu besar. Yang disetujui hanya pembentukan suatu “Panitia Kebangsaan Sumatera Timur” (dua kata pertamanya mempunyai arti kata yang sama dengan “Komite Nasional” tetapi berakar dari bahasa Melayu bukan Belanda). Satu-satunya keputusan penting panitia ini adalah mendirikan suatu bank nasional yang modalnya dikumpulkan dari para anggotanya, lihat T.M. Hasan, dalam Amanat Satoe Tahoen Merdeka (Padang Panjang, 1946), hlm. 60−61. Kisah Tahun Pertama, hlm. 10−23. Arsip Sedjarah, naskah ketikan disusun oleh “PRIMA” (Pejuang Republik Indonesia Medan Area), (Medan, 1972?), hlm. 48−51.

Sesudah pertemuan 17 September 1945 itu, sekelompok tokoh politik yang sudah tidak sabar lagi berangkat ke Tanjung Pura untuk menemui Dr Amir yang telah diangkat sebagai Menteri Negara dalam Kabinet Pertama Sukarno. Amir mengambil sikap akan mendukung proklamasi kemerdekaan di daerah Sumatera oleh Mr. Hasan, tapi hanya jika ada kekuatan yang cukup efektif untuk menjadi tulang-punggungnya, lihat Edisaputra,””Peristiwa Sedjarah”, Gema Bukit Barisan, I (Juni 1970), hlm. 37−38. Wawancara-wawancara.


Dikutip dengan seizin penerbit Komunitas Bambu dari buku Anthony Reid, Sumatera: Revolusi dan Elite Tradisional, Bab VI ‘Pelopor-Pelopor Revolusi di Sumatera Timur’, hlm. 213-215. Buku tersedia juga di TokopediaBukaLapakShopeeatau kontak langsung ke WA 081385430505

Komentar (0)


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Bidang yang harus diisi ditandai *