Batavia Masyarakat Kolonial Abad XVII SC
Masalah Lampau Jakarta

Hendaru Tri Hanggoro

Jurnalis historia.id


MENJELANG pilkada, spanduk, baliho, dan poster-poster calon gubernur (cagub) memenuhi Jakarta. Selain wajah para cagub, termaktub pula program dan janji mereka untuk perbaikan kota berusia 485 tahun ini. Tiap hari, beragam masalah seperti penyuapan, kriminalitas, dan konflik sosial menyesaki Jakarta. “Beberapa masalah yang ada di Jakarta sekarang bahkan dapat ditarik ke rentang masa lampau kota ini,” kata Bondan Kanumoyoso, sejarawan Universitas Indonesia, dalam diskusi dan peluncuran buku Batavia Masyarakat Kolonial Abad XVII karya Hendrik E. Niemeijer, 30 Juni 2012.

Sebermula hanya sejengkal wilayah berlumpur dan berawa di pinggir pantai, Kongsi Dagang Hindia Timur (VOC) lalu mengubah Jakarta menjadi kota sejak 1619. Mulai dari mengganti nama, Jaccatra jadi Batavia, VOC juga membangun tembok kota, benteng, kastil, kantor, dan permukiman. Penduduk mereka datangkan dari banyak wilayah seperti Banten, Maluku, Bali, Bugis, Makassar, bahkan India.

Bersitumbuh dan ramai oleh masyarakat beragam etnis dan bahasa, masalah pun menyeruak di Batavia. Batas tanah, salah satunya, yang muncul seiring pembukaan lahan di Batavia. “Masalah batas tanah sudah ada dalam kurun itu,” ungkap Achmad Sunjayadi, Sejarawan Universitas Indonesia, yang hadir sebagai penanggap buku. Kala itu pencatatan batas tanah terbilang rapi. “Pada masa lalu lebih tertata. Dicatat rapi di arsip,” tambahnya. Lantaran arsip-arsip itu pula Hendrik dapat menjabarkan masalah batas tanah dalam bukunya.

Dalam arsip lainnya, termaktub pula keterangan mengenai rumah bordil. Meski kongsi dagang yang sangat berorientasi keuntungan dan perdagangan (VOC) itu melarang pelacuran di Batavia, banyak pejabat, terutama di kehakiman dan pajak, berhasil disuap. Bisnis itu sangat menggiurkan bagi sebagian orang. “Dalam buku ini diceritakan bagaimana upaya penyuapan pejabat kehakiman VOC,” terang Achmad. Sogok-menyogok menjadi realitas yang menyehari di kalangan pejabat Batavia.

Para pejabat VOC, yang digaji besar dan bisa hidup mewah dalam rumah batu berikut perabotannya tanpa perlu korupsi, berbeda dengan sebagian besar masyarakat yang hanya mampu membangun rumah dari bambu atau kayu. “Mereka, kaum mardijker (merdeka), datang dan bekerja di Batavia lalu membangun rumah petak,” kata Achmad. Istilah rumah petak berasal dari bahasa Portugis, casa atau pedackos; kaum mardijker berasal dari wilayah yang pernah diduduki Portugis.

Kaum mardijker mulanya hidup di dalam tembok kota. Ketika daerah Ommelanden (kawasan luar tembok kota) sudah aman pada pertengahan abad ke-17, mereka mulai membaur dengan kelompok etnis lainnya seperti Jawa, Bali, Bugis, Makasar, dan Ambon. Sebelumya, Ommelanden lebih banyak dikuasai pendatang dari Jawa, dan tak pernah aman. Tingkat kriminalitas sangat tinggi. Pencurian dan perampokan terjadi hampir tiap hari, menimpa warga yang bertamasya atau pergi melalui hutan-hutan di Ommelanden.

Meski sudah aman dan kriminalitas menurun sejak pertengahan abad ke-17, konflik antarkampung justru mulai muncul. Di Ommelanden, warga hidup di kampung berdasarkan asal wilayah dan etnisnya. Pembauran budaya berjalan beriringan dengan gesekan sosial. VOC membiarkan yang pertama, namun mencoba meredam yang kedua. “Lantaran tak memahami semesta hidup masyarakat lapis bawah, upaya VOC gagal,” ujar Bondan.

Kehidupan warga di Ommelanden inilah yang dibahas cukup unik oleh Hendrik. “Dia menempatkan Ommelanden sebagai komunitas dan kajian tersendiri. Ini tidak pernah dilakukan sebelumnya oleh para sejarawan Batavia,” kata Bondan. Ini yang membedakannya dari karya lain tentang Batavia seperti Oud Batavia, Social World of Batavia, dan The Kapitan Cina of Batavia.

Ommelanden seringkali dimasukkan sebagai bagian dari Batavia. Padahal, menurut Bondan, Ommelanden merupakan komunitas tersendiri. Semesta hidup masyarakatnya jauh berbeda dari mereka yang di dalam tembok kota. Pemerintah Agung Batavia juga mengatur Ommelanden dengan cara berbeda.

Ommelanden kini dapat dilihat sebagai kota penyangga Jakarta, “bodetabek” (Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi), yang juga tak luput dari masalah. Melalui buku Hendrik, akar masalah itu diketahui merentang sejak abad ke-17. “Kehidupan Ommelanden sangat berwarna. Permasalahan dulu tak beda jauh dengan sekarang,” kata Bondan. Para calon gubernur, saran Bondan, agar menelusuri sejarah masa lampau Batavia dari buku Hendrik. “Kalau pemerintah Jakarta mau belajar, banyak yang didapat dari sejarah.”

Kehadiran buku Hendrik sangat penting. Selain membuka gerbang menuju arsip-arsip VOC yang belum tergarap, buku ini juga memaparkan kehidupan masyarakat multietnis di Batavia bersama masalahnya sehari-hari. “Dari data itu tersedia informasi yang melimpah, yang menanti digarap. Ini peluang bagi sejarawan,” kata Achmad. “Hendrik tidak melihat Batavia sebagai kota, melainkan sebagai komunitas,” sambung Bondan.

Tapi Hendrik merendah. Dia, yang beroleh segudang arsip, merasa hanya membuat sketsa. “Saya hanya membuat sketsa mengenai Batavia. Masyarakatnya sangat kompleks,” ujarnya. Dia menilai masih banyak peluang bagi sejarawan untuk menyingkap kehidupan masa lalu masyarakat Batavia. Salah satu tema yang belum tergali adalah lelaku beragama antar masyarakat. “Saya kira ini penting untuk membaca kondisi kehidupan beragama masyarakat Jakarta sekarang. Bagaimana orang Islam, Kristen, dan Katolik dulu berinteraksi mungkin ada yang berjejak hingga sekarang.”

Sumber: https://historia.id/buku/articles/masalah-lampau-jakarta-DrAb6

Comments (0)


Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published. Required fields are marked *