”Peringatan 62 Tahun Piagam Jakarta”

Adian Husaini

Hidayatullah.com


Pada Hari Kamis, 21 Juni 2007, Komite Indonesia untuk Solidaritas Dunia Islam (KISDI) menyelenggarakan sebuah acara penting, yakni peluncuran buku berjudul ”Status Piagam Jakarta: Tinjauan Hukum dan Sejarah”, karya cendekiawan Muslim Ridwan Saidi. Melalui buku ini, Ridwan Saidi membuktikan, bahwa Piagam Jakarta bukan hanya merupakan produk sejarah, tetapi juga sekaligus produk hukum.

Ridwan Saidi menegaskan, bahwa ”Piagam Jakarta masih berlaku sampai sekarang. Artinya syariat Islam secara legal memang berlaku di Indonesia”. Lebih jauh, ketika saya hubungi, sesaat menjelang acara bedah bukunya di Jakarta, Ridwan mengharapkan agar pemerintah dan DPR seharusnya meninjau kembali semua produk hukum dan perundang-undangan di Indonesia yang tidak mengacu kepada Piagam Jakarta. Piagam Jakarta adalah produk hukum yang secara resmi dikembalikan posisinya oleh Presiden Soekarno melalui Dekrit 5 Juli 1959. Dokumen ini tercantum dalam Keppres Nomor 150 tahun 1959 dan Lembaran Negara Nomor 75/1959.

Ridwan Saidi memang dikenal sebagai cendekiawan dan budayawan kawakan yang rajin menghimpun arsip-arsip sejarah. Dia juga merupakan seorang penulis yang piawai. Penguasaannya tentang sejarah Indonesia sudah tidak diragukan lagi. Saya mengenal sosok Ridwan Saidi pada tahun 1970-an, saat duduk di bangku SMP. Ketika itu, Ridwan menggunakan nama pena ’Abu Jihan’ dalam kolom-kolomnya di Majalah Panji Masyarakat. Sejak tahun 1990-an, publik di Indonesia mengenal Ridwan Saidi sebagai pengkritik keras gagasan pembaruan Islam Nurcholish Madjid.

Tahun lalu, pada hari Kamis, 22 Juni 2006, Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia juga menyelenggarakan peringatan Piagam Jakarta yang ke-61. Dalam seminar tersebut, saya juga menyampaikan data-data sejarah bahwa sebenarnya perjuangan para pejuang Islam terdahulu dalam upaya menegakkan Islam tidaklah gagal. Meskipun secara verbatim, tujuh kata dalam Piagam Jakarta telah dihapuskan, tetapi hal itu dikembalikan lagi dalam Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Dalam dekrit tersebut, Presiden Soekarno dengan tegas menyatakan: “Bahwa kami berkeyakinan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai dan merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut.”

Dalam Catatan Akhir Pekan ke-151, kita sudah membahas masalah ini. Dr. Roeslan Abdulgani, tokoh utama PNI, selaku Wakil Ketua DPA dan Ketua Pembina Jiwa Revolusi, menulis: “Tegas-tegas di dalam Dekrit ini ditempatkan secara wajar dan secara histories-jujur posisi dan fungsi Jakarta Charter tersebut dalam hubungannya dengan UUD Proklamasi dan Revolusi kita yakni: Jakarta Charter sebagai menjiwai UUD ’45 dan Jakarta Charter sebagai merupakan rangkaian kesatuan dengan UUD ’45.”

Dalam acara Peringatan 18 tahun Piagam Jakarta, KH Saifuddin Zuhri, tokoh NU dan selaku Menteri Agama, mengatakan:

“Setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959, maka hapuslah segala selisih dan sengketa mengenai kedudukan yang legal daripada Piagam Jakarta 22 Juni 1945. Piagam yang jadi pengobar dan bebuka Revolusi Nasional kita itu tegas-tegas mempunyai kedudukan dan peranan ketatanegaraan kita sebagai yang menjiwai UUD dan merupakan rangkaian kesatuan dengannya dengan sendirinya mempunyai pengaruh yang nyata terhadap setiap perundang-undangan Negara dan kehidupan ideologi seluruh bangsa.”

Dalam pidatonya pada hari peringatan Piagam Jakarta tanggal 29 Juni 1968 di Gedung Pola Jakarta, KHM Dahlan, tokoh NU, yang juga Menteri Agama pengganti KH Saifuddin Zuhri, mengatakan:

“Bahwa diatas segala-galanya, memang syariat Islam di Indonesia telah berabad-abad dilaksanakan secra konsekuen oleh rakyat Indonesia, sehingga ia bukan hanya sumber hukum, malahan ia telah menjadi kenyataan, di dalam kehidupan rakyat Indonesia sehari-hari yang telah menjadi adat yang mendarah daging. Hanya pemerintah colonial Belandalah yang tidak mau menformilkan segala hukum yang berlaku di kalangan rakyat kita itu, walaupun ia telah menjadi ikatan-ikatan hukum dalam kehidupan mereka sehari-hari.”

Meskipun Piagam Jakarta adalah bagian yang sah dan tidak terpisahkan dari UUD 1945, tetapi dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia, memang senantiasa ada usaha keras untuk menutup-nutupi hal ini. Di zaman Orde Lama, sebelum G-30S/PKI, kalangan komunis sangat aktif dalam upaya memanipulasi kedudukan Piagam Jakarta. Ajip Rosidi, sastrawan terkenal menulis dalam buku, Beberapa Masalah Umat Islam Indonesia (1970):

“Pada zaman pra-Gestapu, PKI beserta antek-anteknyalah yang paling takut kalau mendengar perkataan Piagam Jakarta… Tetapi agaknya ketakutan akan Piagam Jakarta, terutama ke-7 patah kata itu bukan hanya monopoli PKI dan antek-anteknya saja. Sekatang pun setelah PKI beserta antek-anteknya dinyatakan bubar, masih ada kita dengar tanggapan yang aneh terhadapnya.”

Jadi, meskipun secara verbal terhapus dari naskah Pembukaan UUD 1945, tetapi kedudukan Piagam Jakarta sangatlah jelas, sebagaimana ditegaskan dalam Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Di zaman Soekarno, Piagam Jakarta juga diakui sebagai sumber hukum yang hidup. Sejumlah peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan setelah tahun 1959 merujuk atau menjadikan Piagam Jakarta sebagai konsideran. Sebagai contoh, penjelasan atas Penpres 1/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, dibuka dengan ungkapan: “Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 yang menetapkan Undang-undang Dasar 1945 berlaku lagi bagi segenap bangsa Indonesia ia telah menyatakan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai dan merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut.”

Dalam Peraturan Presiden No 11 tahun 1960 tentang Pembentukan Institut Agama Islam Negeri (IAIN), juga dicantumkan pertimbangan pertama: “bahwa sesuai dengan Piagam Djakarta tertanggal 22 Djuni 1945, yang mendjiwai Undang-undang Dasar 1945 dan merupakan rangkaian kesatuan dengan Konstitusi tersebut…”.

Perlu dicatat, bahwa sejak 1945, meskipun Piagam Jakarta dihapuskan, tetapi umat Islam juga mendapatkan konsesi pendirian Departemen Agama. Dalam rapat PPKI tanggal 19 Agustus 1945, usulan pembentukan Departemen Agama ditolak oleh Latuharhary dan kalangan nasionalis sekular. Namun, akhirnya Soekarno dan Hatta menerima usulan pembentukan Depoartemen Agama yang secara resmi berdiri pada 3 Januari 1945. Prof. HM Rasjidi diangkat sebagai Menteri Agama pertama. Pada tahun 1967, Menteri Agama mengeluarkan Keputusan Menteri Agama No. 56/1967 tentang perincian struktur organisasi, tugas, dan wewenang Departemen Agama, yang antara lain menyatakan: “Tugas Departemen Agama dalam jangka panjang ialah melaksanakan Piagam Jakarta dalam hubungannya dengan UUD.” (Pasal 1, ayat 1-d). (Data-data seputar Piagam Jakarta, lebih jauh bisa dilihat pada buku Endang S. Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945: Sebuah Konsensus Nasional Tentang Dasar Negara Republik Indonesia (1945-1949), (Jakarta: GIP, 1997)).

Jadi, dari segi historis dan juridis, sebenarnya kedudukan Piagam Jakarta dan Syariat Islam sudah sangat gamblang. Pada masa lalu, umat Islam Indonesia biasa memperingati acara lahirnya Piagam Jakarta setiap tanggal 22 Juni. Hari bersejarah ini perlu dikenang dan dihidupkan, sebab itulah satu hari dimana berbagai tokoh dari berbagai latar belakang ideologis di Indonesia bertemu dan bersepakat setelah melalui perdebatan yang panjang dan melelahkan.

Ada baiknya kita menengok kembali bagaimana perdebatan dan kesepakatan yang telah dicapai oleh tokoh-tokoh Islam, Kristen, dan kalangan nasionalis sekular di Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapakan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI/Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai), yang akhirnya menghasilkan Piagam Jakarta. Usai penyusunan Piagam Jakarta oleh Panitia Sembilan, Soekarno berbicara di BPUPKI: “Di dalam preambule itu ternyatalah, seperti saya katakan tempo hari, segenap pokok-pokok pikiran yang mengisi dada sebagian besar daripada anggota-anggota Dokuritsu Zyunbi Tyosakai. Masuk di dalamnya ke-Tuhanan, dan terutama sekali kewajiban umat Islam untuk menjalankan syariat Islam masuk di dalamnya; kebulatan nasionalisme Indonesia, persatuan bangsa Indonesia masuk di dalamnya; kemanusiaan atau Indonesia merdeka masuk di dalamnya; perwakilan permupakatan kedaulatan rakyat masuk di dalamnya; keadilan sosial, sociale rechtvaardigheit, masuk di dalamnya. Maka oleh karena itu, Panitia Kecil penyelidik usul-usul berkeyakinan bahwa inilah preambule yang bisa menghubungkan, mempersatukan segenap aliran yang ada di kalangan anggota-anggota Dokuritu Zyunbi Tyoosakai.”

Dalam buku Risalah Sidang BPUPKI terbitan Setneg digambarkan perdebatan dalam badan tersebut. Piagam Jakarta sebenarnya adalah “rumusan kompromi”, bukan kemenangan Islam 100 persen. Dalam rapat BPUPKI tanggal 11 Juli 1945, baik pihak Kristen maupun pihak Islam masih mempersoalkan rumusan Piagam Jakarta itu. Dari pihak Kristen, muncul Latuharhary dari Maluku, yang menggugat rumusan Piagam Jakarta. Latuharhary tidak secara tegas menyampaikan aspirasi Kristen, tetapi menyoal, jika syariat Islam diwajibkan pada pemeluknya, maka mereka harus meninggalkan hokum adat yang sudah diterapkannya selama ini, seperti di Minangkabau dan Maluku. Haji Agus Salim, yang asal Minangkabau, membantah pernyataan Latuharhary, bahwa Piagam Jakarta akan menimbulkan kekacauan di Minangkabau. Malah dia menegaskan: “Wajib bagi umat Islam menjalankan syariat, biarpun tidak ada Indonesia merdeka, biarpun tidak ada hokum dasar Indonesia, itu adalah satu hak umat Islam yang dipegangnya.”

Menanggapi Latuharhary, Soekarno menyatakan: “Barangkali tidak perlu diulangi bahwa preambule adalah hasil jerih payah untuk menghilangkan perselisihan faham antara golongan-golongan yang dinamakan golongan kebangsaan dan golongan Islam. Jadi, manakala kalimat itu tidak dimasukkan, saya yakin bahwa pihak Islam tidak bisa menerima preambule ini; jadi perselisihan nanti terus.”

Wachid Hasjim, tokoh NU yang juga ayah dari Abdurrahman Wahid, juga menyampaikan tanggapannya, bahwa rumusan Piagam Jakarta itu tidak akan menimbulkan masalah seperti yang dikhawatirkan. Malah, dengan tegas, Wachid Hasjim, menyatakan: “Dan jika masih ada yang kurang puas karena seakan-akan terlalu tajam, saya katakana bahwa masih ada yang berpikir sebaliknya, sampai ada yang menanyakan pada saya, apakah dengan ketetapan yang demikian itu orang Islam sudah boleh berjuang menyeburkan jiwanya untuk negara yang kita dirikan ini. Jadi, dengan ini saya minta supaya hal ini jangan diperpanjang.”

Menanggapi pernyataan Wachid Hasjim itu, Soekarno menegaskan lagi, “Saya ulangi lagi bahwa ini satu kompromis untuk menyudahi kesulitan antara kita bersama. Kompromis itu pun terdapat sesudah keringat kita menetes. Tuan-tuan, saya kira sudah ternyata bahwa kalimat “dengan didasarkan kepada ke-Tuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” sudah diterima Panitia ini.”

Piagam Jakarta adalah naskah pembukaan (preambule) UUD 1945 yang disiapkan untuk konstitusi Negara Indonesia merdeka. Ketika naskah pembukaan itu sudah disepakati, maka naskah-naskah rincian pasal-pasal dalam UUD 1945 masih menjadi persoalan. Dalam rapat tanggal 13 Juli 1945, Wachid Hasjim mengusulkan, agar Presiden adalah orang Indonesia asli dan “yang beragama Islam”. Begitu juga draft pasal 29 diubah dengan ungkapan: “Agama Negara ialah agama Islam”, dengan menjamin kemerdekaan orang-orang yang beragama lain, untuk dan sebagainya. Kata Wachid Hasjim: “Hal ini erat perhubungan dengan pembelaan. Pada umumnya pembelaan yang berdasarkan atas kepercayaan sangat hebat, karena menurut ajaran agama, nyawa hanya boleh diserahkan buat ideologi agama.”

Soekarno, lagi-lagi meminta kepada seluruh anggota BPUPKI: “Sudahlah hasil kompromis diantara 2 pihak, sehingga dengan adanya kompromis itu, perselisihan diantara kedua pihak hilang. Tiap kompromis berdasar kepada memberi dan mengambil, geven dan nemen. Ini suatu kompromis yang berdasar memberi dan mengambil… Pendek kata, inilah kompromis yang sebaik-baiknya. Jadi, panitia memegang teguh akan kompromis yang dinamakan oleh anggota yang terhormat Muh. Yamin “Djakarta Charter”, yang disertai perkataan Tuan angora Soekiman, gentlemen agreement, supaya ini dipegang teguh di antara pihak Islam dan pihak kebangsaan.”

Kisah-kisah seperti ini tidak dibeberkan secara gamblang dalam buku sejarah untuk anak-anak kita di sekolah-sekolah. Karena itu, tanggal 22 Juni seyogyanya menjadi hari penting bagi bangsa Indonesia. Karena itu, sangatlah baik jika umat Islam sendiri yang aktif memperingati hari lahirnya Piagam Jakarta, seperti yang dilakukan KISDI pada 21 Juni 2007. Apalagi, acara ini ditandai dengan peluncuran sebuah buku – satu tradisi ilmiah yang perlu dikembangkan lebih jauh.

Sumber: https://www.hidayatullah.com/kolom/catatan-akhir-pekan/read/2007/06/25/3544/peringatan-62-tahun-piagam-jakarta.html