Politik Film di Hindia Belanda, Silang Sejarah Perfilman Indonesia Era Kolonial
Berpijar.co

Siapa yang tak suka menonton film? Pastinya hampir mayoritas penduduk Indonesia suka menonton film dengan genre apa saja. Kita bahkan melakukannya dimana pun, di rumah maupun di bioskop, layar kaca atau pun layar tancap.

Film sendiri tidak terlepas dari sejarah dan politik. Mereka tidak tiba-tiba muncul dan bebas nilai. Pada beberapa kasus, film justru menjadi alat propaganda paling ampuh.

Benarkah itu? Mari simak ulasan singkat berikut ini.

M. Sarief Arief, penulis buku “Politik Film di Hindia Belanda” memulai uraian mengenai penjelasan tentang Bioskop yang merupakan kata serapan dari bahasa Yunani. Arti dari bioskop adalah melihat sesuatu yang hidup atau seolah-olah hidup. Mengajak para penontonnya untuk melihat sebuah kejadian yang nyata atau rekaan.

Dan adanya kebijakan perfilman juga inisiatif pembuat film pastinya mengajak para penontonnya untuk memikirkan mengenai eksistensi dan juga lingkungan sekitarnya. Karena ajakan untuk berpikir inilah yang nantinya memunculkan apresiasi dan juga kritik terhadap film yang sudah ditayangkan dan ditonton.

Semenjak munculnya film dengan suara pertama, mulai bermunculan juga “genre” film. Penulis memaknai genre sebagai aliran dalam film yang merupakan keluaran Amerika Serikat.

Genre membimbing para penonton memasuki daya khayali mereka dengan berbagai gerak, suara dan tata lampu. Belum lagi adegan-adegan seperti percintaan dan perkelahian ataupun sebuah perjalanan, membawa penonton kepada suatu pengalaman yang belum pernah mereka rasakan bahkan belum pernah mereka lihat sama sekali.

Perkembangan aliran genre di Amerika Serikat ini menyasar kalangan muda dan kelompok menengah kebawah karena tiket yang relatif murah. Bisa dibilang, film dan bioskop merupakan terobosan revolusioner untuk kesenangan manusia.

Selain genre, ada aliran neorealisme. Aliran ini, tidak seperti genre yang bisa dibilang untuk sekedar hiburan bagi para penontonnya, lebih menekankan pada substansi filmnya. Mereka menggunakan atribut film untuk membantu para penonton untuk memahami alur kisah dalam film terkait dan memaknainya.

Aliran neorealisme ini biasanya didasarkan kepada sejarah kisaran abad ke limabelas dan ke enambelas. Mereka memaksimalkan penggunaan simbol-simbol agar para penonton dapat menangkap maksud dari film yang ditayangkan. Saat menonton aliran neorealisme, penonton harus memiliki pengetahuan yang merupakan bagian-bagian dari pengalaman yang pernah mereka alami.

Penulis mengutip dari Richard Griffith bahwasanya film adalah sekumpulan upaya untuk mengenang apa yang telah terjadi dalam kehidupan sehari-hari.

Film di Hindia Belanda

Film mulai memasuki khatulistiwa Hindia Belanda pada akhir 1900an. Di negeri jajahan ini, kemunculan film tidak dinikmati layaknya di Amerika Serikat yang diperuntukkan untuk pemuda dan golongan menengah ke bawah, namun untuk menonton saja harus ditentukan oleh strata dalam masyarakat Hindia Belanda.

Ada perbedaan kursi antara penonton dari Eropa maupun pribumi, bahkan ada bioskop yang hanya khusus untuk warga Eropa di Hindia Belanda. Ada pun film-film beraliran genre mengalir deras di perkotaan, dimana banyak warga pribumi yang berstatuskan priyayi seringkali ikut menonton film produksi Amerika Serikat ini.

Beberapa hal yang menyebabkan pelajar era Hindia Belanda gandrung menonton di bioskop ialah: keinginan untuk meninggalkan hiburan dengan kaidah tradisional; harga tiket masuk dapat dijangkau oleh para murid; longgarnya peraturan sehingga bioskop dijadikan tempat pertemuan antara remaja lelaki dan perempuan; dan film merupakan bentuk hiburan yang mengalihkan masalah seseorang dalam kenyataan sehari-harinya.

Kelebihan film dibandingkan hiburan lainnya di masa kolonial adalah bisa digandakan, sehingga tidak jarang film ini disetel di pedesaan. Penetrasi yang dilakukan film ke pedesaan menggeser pewayangan dan dalang sebagai hiburan favorit penduduk pribumi di Desa.

Film-film impor dari Amerika Serikat ini mengilustrasikan warga Eropa yang berkulit putih memiliki perilaku yang tidak bermoral seperti seks bebas dan melakukan perampokan, sangat kontradiktif dengan apa yang diajarkan oleh para guru jajahan, bahwasanya orang Eropa adalah kaum-kaum yang menjunjung tinggi moralitas.

Belum lagi film-film ini yang sampai masuk ke dalam pedesaan makin membahayakan posisi penduduk Eropa di Hindia Belanda, karena tidak akan dihargai lagi sebagaimana sebelumnya.

Maka dari itu pemerintah kolonial mengeluarkan dua kebijakan berkenaan dengan film: pembuatan film di Hindia Belanda dengan pemerannya adalah pribumi namun dengan gaya hidup seperti orang Eropa di film Amerika Serikat (untuk memperlihatkan bahwa pribumi pun melakukan hal yang sama), dan melakukan sensor film yang dimulai pada tahun 1916.

Dalam buku ini, penulis juga mengutarakan bahwa gaya seni tradisional yang berpindah-pindah tempat, membuat bioskop semakin diminati oleh para penduduk di Hindia Belanda karena menetap dan tidak sulit mencarinya. Adapun beberapa bioskop jaman itu yang disebutkan dalam buku ini adalah: Manage Kebondjae, Mangga Besar dan Kongsi Tan Boen Koei Glodok yang ketiganya berada di Batavia.

Film-film yang diputar dalam bioskop-bioskop di Hindia Belanda sendiri masih didominasi oleh Hollywood (hingga sekarang), bahkan masuknya film Amerika ke Hindia Belanda tidak terbendung dan saat dilakukan sensor film, mereka menggugat kebijakan tersebut melalui petisi yang disampaikan oleh Konsul Amerika Serikat.

Semakin banyaknya minat untuk menonton film, hasilnya adalah meningkat pula industri importir film yang masuk ke Hindia Belanda pada tahun 1924 menjadi 17 perusahaan. Hal ini pun merupakan dampak dibukanya penanaman modal asing pada tahun 1870an. Bahkan banyak film yang masuk ke Hindia Belanda terlebih dahulu sebelum ke Belanda, tidak jarang perkumpulan warga Eropa menyewa sebuah bioskop untuk menonton film yang belum disensor.

Bahkan diperbolehkan untuk menyewa sebuah film guna disetel di kantor. Perfilman juga berkembang pesat setelah politik etis tahun 1920-an yang merupakan dampak dari bidang edukasi, dimana para pemuda yang belajar di sekolah buatan pemerintah kolonial atau swasta karena keturunan ningrat juga hobi menonton sebagai pengisi waktu luang mereka selama jauh dari rumah.

Perfilman, selain sebagai sebuah industri mapan, juga sebuah seni yang menyebarkan budaya barat dan membuat para pemuda pribumi meninggalkan kaidah-kaidah tradisional. Banyaknya penonton pribumi ini membuat seorang warga Belanda bernama L. Heuveldorp mendirikan Java Film Company yang berpusat di Batavia, tapi laboratorium pembuatan film bertempat di Bandung.

Film pertama yang dihasilkan oleh studio ini adalah Loetoeng Kasaroeng yang digunakan untuk menarik banyak penonton pribumi, karena banyak pemainnya adalah pribumi. Mulai menjamur bermacam-macam perusahaan pembuat film yang dimiliki oleh orang Belanda ataupun orang Cina berebut pasar di Hindia Belanda.

Setelah muncul delapan studio film di Indonesia, muncullah film bicara, film yang memiliki suara, tidak lagi film bisu, dan yang pertama kali masuk di Indonesia adalah The Rainbow Man. Adapun dengan kemunculan film bicara ini maka impornya juga meningkat, namun bea pun juga meningkat sehingga beberapa produser film enggan menayangkan filmnya di Hindia Belanda dengan resiko filmnya tidak laku.

Akhirnya ada beberapa film yang diadaptasi oleh perfilman dalam negeri atau diadaptasi kedalam majalah atau koran yang digandrungi oleh masyarakat semacam Filmrevue yang memuat berita mengenai film-film yang beredar.

Karena derasnya arus film yang sangat banyak, terutama dari Amerika Serikat yang beraliran genre sejatinya menimbulkan kecemasan di kalangan warga Eropa di Hindia Belanda karena memperlihatkan keburukan dari perilaku orang Eropa dan dilihat pula oleh kalangan pribumi, sehingga menghancurkan tesis bahwasanya Eropa (Barat) lebih bermoral dibanding inlander.

Maka dari itu pemerintah kolonial membentuk komisi sensor yang acapkali memotong adegan-adegan yang tidak boleh dipertontonkan secara luas. Namun pelaksanaan kebijakan ini ternyata tidak semulus yang diperkirakan, karena pelaksanaannya tidak pada sebuah kantor tetap (karena memang lembaga sensor kala itu tidak memiliki kantor).

Tidak jelasnya kriteria gangguan dan kesusilaan sehingga pemotongan dilakukan melalui penafsiran tiap personel komisi sensor ini, dan tidak adanya pajak terhadap film sehingga komisi sensor pun tidak digaji dan importir film pun bebas memasukkan film ke Hindia Belanda. Karena tidak ada biaya apapun, dan banyaknya film yang harus disensor, akhirnya membuat hasil penyensoran tidak maksimal.

Di atas telah diulas oleh penulis buku berkenaan dengan permasalahan-permasalahan yang terjadi pada saat awal masuknya perfilman di Indonesia yang pada saat itu masih disebut Hindia Belanda. Sarief mengutarakan kisah dunia perfilman ini dengan kronologis, meskipun berkesan seperti ada pengulangan. Pengulangan tersebut dilakukan untuk memberikan penekanan terhadap permasalahan penting yang akan diulas dalam sebuah bab.

Pastinya, karena Sarief merupakan alumni jurusan Sejarah Fakultas Sastra UI (sekarang Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia) menjelaskan sejarah dengan kurun waktu yang tertata. Untuk mengisi waktu luang, cocok rasanya kita membaca buku ini sambil ditemani secangkir teh Chamomile.

Sumber: https://berpijar.co/politik-film-di-hindia-belanda-silang-sejarah-perfilman-indonesia-era-kolonial/

 

Comments (0)


Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published. Required fields are marked *