Kemunculan Komunisme Indonesia
Munculnya Komunisme di Indonesia

Peristiwa kelam yang sampai hari ini tetap menerbitkan riak-riak karena tetap sangat sulit dipahami dan penuh misteri sampai hari ini adalah Peristiwa 1965. Peristiwa yang dianggap terlarang untuk dibicarakan bahkan ditabukan di masa Orde Baru, tidak bisa dilepaskan dari kemunculan gerakan komunisme yang dengan sangat baik dipaparkan oleh buku The Rise of Indonesian Communism karya Ruth T. McVey yang terbit pertama kali tahun 1965, persis beberapa bulan sebelum pecahnya Peristiwa G30S pada September 1965.

Pada saat buku yang luarbiasa ini disusun dan kemudian diterbitkan, masa lalu dan masa kini Indonesia kelihatannya menjadi semakin masuk akal untuk saling dikaitkan. Untuk menelusuri jejak-jejak di mana gerakan Marxis yang masih demikian baru, yang muncul di masa kolonial, mampu memberikan tempat bagi dirinya sendiri suatu pola politik yang demikian berbeda pada masa kemerdekaan Indonesia, yang secara historis merupakan sebuah kajian yang sangat penting. Apa yang disajikan oleh Ruth McVey ini merupakan suatu kajian yang sangat penting dan salah satu pionir yang mengkaji kemunculan komunisme, baik sebagai ideologi maupun gerakan politik di Indonesia.

Dalam karyanya ini, McVey menelusuri bagaimana Partai Kommunis Indonesia (PKI) tumbuh dan berkembang dari tahun 1914 sampai 1927, sebagai partai komunis pertama di Asia, dan dimusnahkan pada tahun 1965, dalam sebuah peristiwa berdarah di mana jutaan para korbannya bukan saja para pimpinanmaupun kader-kader dari partai tersebut, melainkan juga ratusan ribu paraanggota biasa, pengikut bahkan yang hanya menjadi simpatisan. Buku yang sangat menarik ini bisa dibaca sembari sekaligus melihat berbagai petunjuk yang bisa menjadi cahaya retrospektif atas trauma yang terjadi pada pertengahan tahun 1960an sampai hari ini.

Buku ini merupakan salah satu buku paling komprehensif yang pernah ditulis mengenai gerakan komunis di Asia, bahkan, sejauh ini merupakan salah satu buku paling otoritatif dalam menjelaskan perkembangan PKI di Indonesia. Salah satu yang sangat menarik dari buku ini adalah bagaimana McVey mampu merangkum informasi melalui wawancara personal dengan aktivis PKI dan juga eks-PKI dan menelurkan hasil yang mengagumkan. McVey bukan saja menyuguhkan analisis mengenai sejarah kolonialisme di Indonesia, namun sekaligus juga menguraikan dengan detil mengenai gerakan komunis internasional. McVey mampu menyajikan penjelasan secara seimbang warnawarni di dalam PKI, dan peristiwa-peristiwa tertentu dalam sejarah internal PKI, dan juga penjalasan yang baik mengenai hubungan yang kurang baik dengan partai komunis di Belanda, dan juga dengan Comintern (Communist International). Buku ini berujung pada pemberontakan komunis yang gagal (abortive rebellions) pada tahun 1926/1927.

Menurut McVey, sedari awal pemerintah kolonial cukup serius mewaspadai dan mewanti-wanti adanya potensi pemberontakan Komunis yang akan dimulai di sejumlah tempat di wilayah koloni Hindia Belanda. Untuk itu pemerintah kolonial segera memberlakukan sejumlah larangan dan pembatasan terhadap kehidupan politik di Hindia Belanda yang membuat para pemimpin PKI merasa tidak nyaman. Di sisi lain, McVey juga menyajikan analisa mengenai strategi PKI dalam membangun dan membesarkan dirinya melalui stretagi yang dikenal dengan “bloc within”, yang dijelaskan dengan rinci pada Bab V buku ini. Strategi ini dinilai McVey sebagai strategi yang sangat brilian, sehingga membuat PKI bertumbuh dengan cepat, bahkan mampu merekrut anggota dengan jumlah sangat besar dalam waktu yang relatif singkat.

Strategi “bloc within” adalah strategi untuk menyusup ke dalam organisasi yang besar dan mapan, serta menggunakannya untuk kepentingan revolusi. Strategi ini ditelurkan oleh – salah satunya – Henk Sneevliet, tokoh ISDV (Indische Sociaal-Democratische Vereniging) yang jadi cikal bakal PKI. Organisasi yang disusupi aktivis ISDV adalah Sarekat Islam (SI), organisasi yang saat itu terbesar di Jawa (Hal. 280). Bagi Sneevliet, SI merupaka ujud dari tipe kendaraan ideal bagi pelaksanaan program revolusi sosialisme yang lebih maju di Hindia Belanda. Menurut McVey, strategi ini adalah contoh konkrit pertama dari sebuah partai Marxis yang mencoba untuk melakukan infiltrasi terhadap partai lainnya, dan membentuk sel-sel di dalamnya, yang bertujuan untuk membangun propaganda mereka di dalam tubuh partai yang disusupi, dan membangun kontak-kontak di antara massa. Strategi ini yang di tahun-tahun berikutnya memberikan keuntungan sangat besar bagi ISDV. Aktivis-aktivis komunis juga memasuki organisasi-organisasi massa lainnya, seperti VSTP (Vereniging van Spoor en Tramweg Personeel) atau serikat buruh kereta api.

Capaian ISDV melalui strategi “bloc within” di dalam SI didukung oleh karakter desentralisasi yang sangat ekstrim di dalam tubuh SI sebagai organisasi nasionalis, yang oleh Sneevliet, Indonesia pada saat itu dipandang hampir mirip dengan gerakan Chartist di Inggris pada abad sembilanbelas (Hal. 19). Sifat organisasi SI yang “federatif” yang membuatnya mendapatkan toleransi sekaligus tindakan hukum dari kekuasaan kolonial di tingkat-tingkat lokal (cabang). Jadi perlakuan pemerintah kolonial terhadap masing-masing cabang SI berbeda-beda, ada yang lunak ada yang keras, tergantung karakter masingmasing cabang. Menurut McVey, tidak ada organisasi nasional yang dibiarkan seperti itu, kecuali memang memiliki karakter federatif yang ekstrim. Bagi McVey karakter inilah yang secara jelas memudahkan kerja-kerja infiltrasi ISDV dalam SI, dan itu terjadi beberapa tahun sebelum munculnya kelompok sayap-kanan dalam bentuk organisasi nasionalis yang beroposisi terhadap kelompok Marxis.

Pertumbuhan PKI beriringan dengan persoalan-persoalan sosial yang makin memuncak di sejumlah wilayah, seperti Banten dan Silungkang, Sumatera Barat. Konflik-konflik pertanahan mendorong terjadinya pertikaian antara petani dengan penguasa kolonial. Dalam situasi seperti inilah dorongan-dorongan untuk melakukan perlawanan terhadap kekuasaan kolonial muncul dari kalangan petani dan arus massa bawah kepada PKI. Keputusan untuk melakukan sebuah pemberontakan kepada kekuasaan kolonial dilakukan dalam sebuah Pertemuan Prambanan pada tahun 1925. Dalam pertemuan tersebut, McVey menilai bahwa keputusan untuk melancarkan perlawanan bersenjata lebih banyak dipengaruhi oleh pemikiran Bakunin ketimbang Lenin, sebagai latar belakang diambilnya keputusan Prambanan tersebut (Hal. 325). Meskipun demikian, Menurut McVey, keputusan Prambanan untuk memberontak tidak disetujui oleh sejumlah pimpinan PKI dan Komintern pada waktu itu, yakni – salah satunya – Tan Malaka dan Alimin. Tan Malaka menilai bahwa untuk melakukan itu PKI harus terlebih dahulu bertransofrmasi menjadi “Partai Revolusioner”. Menurut McVey, bagi Tan Malaka, saat itu di Indonesia belum memiliki “Partai Revolusioner” yang ada baru hanya “it has only had associations of people of ‘assorted’ views and political activities” (Hal. 319).

Pemberontakan PKI tahun 1926 di Banten dan 1927 di Silungkang, Sumatera Barat, mendapatkan dukungan penuh dari petani dan kelompok-kelompok Islam, termasuk SI. Namun pemberontakan ini tidak berlangsung lama, dan segera dipatahkan oleh pemerintah kolonial Belanda. Dalam analisa McVey, gelagat pemberontakan sudah tercium oleh pemerintah kolonial, karena diperlakukan penangkapan dan pelarangan pergi keluar bagi sejumlah pimpinan PKI (meskipun demikian Darsono masih berhasil pergi ke Uni Sovyet), dilakukannya penangkapan massal. Setelah kegagalan pemberontakan, sebanyak 13.000-an orang ditangkap. Beberapa orang ditembak mati, sekitar 5000-an orang dimasukan dalam tempat-tempat penahanan, dan 4.500 orang dijatuhi hukuman penjara setelah diadili. Sebanyak 1.308 orang ditangkap dan dibuang, beserta keluarga mereka yang ingin menemani, ke kamp tahanan di Boven Digul, Papua (Hal. 353).

Yang menarik dari uraian McVey adalah soal bagaimana Islam bisa menjalin hubungan demikian erat dengan Komunisme. McVey menunjukkan juga bahwa Komunis bukan mampu menyampaikan propaganda mereka sesuai dengan tema-tema Islam, namun ada juga sejumlah kecil pimpinan agama yang melihat adanya kesalahan kecil melakukan aliansi dengan PKI. Yang juga penting, di Jawa Barat terdapat kelompok Islam anti-Komunis yakni Sarekat Hidjau yang terdiri dari petani yang dengan mudah bisa berbalik haluan ikut memberontak bersama PKI atas nama mesianistik tradisional, ataupun Islam sinkretis yang Marxis.

Penjelasan dan analisa mengenai pemilahan antara santri dan abangan, yang banyak diteliti oleh para sarjana Barat sebagai sesuatu sesuatu yang penting dalam masyarakat Jawa, bahkan hingga hari ini, banyak berpijak dan mengembangkannya dari apa yang berhasil ditemukan dan ditelusuri oleh buku McVey ini. Juga di awal-awal abad sembilanbelas, kaum Samin, kelompok abangan yang tidak banyak bersuara, juga menolak dan melakukan perlawanan bukan hanya kepada pemerintahan kaum kulit putih, namun juga menolak Islam Jawa. Pada saat SI memasuki gelanggang dan jauh sebelum menggunakan bendera Islam (di mana pimpinan di wilayah pedesaan pada dasarnya berorientasi sekuler), tidak ada friksi yang terbangun di antara keduanya.

Secara umum, buku Ruth McVey, demikian menggugah pada saat diterbitkan, karena berhasil menguraikan perkembangan Partai Komunis Indonesia dengan detil (pada waktu itu) sebagai partai politik paling kuat di Indonesia. McVey juga melihat bahwa PKI pada masa itu, merupakan partai komunis terkuat di dunia setelah Uni Sovyet. PKI juga dianggap sebagai pertai politik tertua di Indonesia. Secara umum, dalma buku ini McVey ingin menelusuri perkembangan PKI dari kelahiran gerakan komunis tahun 1914 sampai terbenamnya (secara temporer) pada tahun 1927 setelah upaya revolusi yang gagal dan berakibat pada penghancuran partai tersebut. Dalam karyanya ini McVey memberikan penekanan yang sama terhadap peran PKI di dalam politik Indonesia maupun sebagai bagian dari gerakan Komunis Internasional (Comintern), di mana McVey dengan cermat berhasil menyelidiki perubahan garis partai dalam PKI dan hubungannya dengan Comintern, di mana McVey juga menunjukkan bahwa gerakan Komunis di Hindia menolak segregasi rasial.

Di luar berbagai kecermelangan karya ini pada konteks masa penerbitannya, sejumlah temuan baru dalam studi Takashi Shiraishi, misalnya, dalam karyanya An Age in Motion banyak memberikan koreksi pada karya McVey ini, di mana Takashi melihat McVey masih terperangkap klasifikasi historiografi ala Petrus Blumberger yang mengklasifikasi segregasi ideologi politik Indonesia pada: Islam, Nasionalis, Komunis, dan tidak mempertanyakan validitas dari sistem klasifikasi Blumbergerian tersebut.1 Artinya, jika merujuk pada sistem klasifikasi tersebut, maka Islam, Nasionalis, Komunis akan diletakkan pada masing-masing keranjang, dan tiap-tiap orang yang memenuhi klasifikasi tersebut akan dimasukkan pada masing-masing keranjang. Menurut Shiraishi, kemunculan orang-orang seperti Tjipto Mangoenkoesoemo, Marco Martodikromo, dan Hadji Mohammad Misbach serta-merta meruntuhkan sistem klasifikasi tersebut, karena ketiganya tidak bisa begitu saja dimasukkan ke dalam keranjang: Islam, Nasionalis, Komunis, melainkan merupakan persinggungan antara ideologiideologi tersebut.

Kekurangan lain dalam buku ini adalah persoalan sangat teknis, yakni buku ini tidak disertai daftar pustaka, yang memudahkan pembaca untuk melihat referensi rujukan. Namun di luar berbagai kritik di atas, bagaimanapun, buku ini merupakan salah satu opus yang harus dibaca sebagai bahan kajian sejarah dan politik Indonesia.

1 Takashi Shiraishi, An Age In Motion: Popular Radicalism in Java 1912-1926 (Ithaca: Cornell University Press, 1990).


Sumber: https://www.academia.edu/8806647/Munculnya_Komunisme_di_Indonesia

Daniel Hutagalung

Kontributor academia.edu

Comments (0)


Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published. Required fields are marked *