Serdadu Afrika di Hindia Belanda

Handoko Widagdo
Penulis dan Pemerhati Buku


Informasi tentang serdadu Afrika di Hindia Belanda sangat sedikit yang diketahui di Indonesia. Ineke van Kessel menulis bahwa tidak ada penerbitan akademis lain dalam Bahasa Indonesia mengenai sejarah menarik ini, selain thesis Endri Kusruri (dan buku terjemahan ini), sejarawan Indonesia asal Purworejo (hal. xi). Padahal keterlibatan serdadu Belanda Hitam sangat penting dalam perjalanan sejarah Hindia Belanda. Misalnya tentang bagaimana keterlibatan serdadu Afrika yang direkrut dalam aksi polisional setelah Kemerdekaan Indonesia untuk melawan para nasionalis Indonesia, khususnya Sukarno. Bukankah Sukarno telah mengilhami gerakan kemerdekaan bangsa-bangsa Asia dan Afrika, bagaimana mungkin orang-orang Afrika yang jadi tentara Belanda bisa memusuhi para nasionalis ini?

Ada berbagai alasan mengapa Hindia Belanda mendatangkan tentara dari Afrika. Alasan-alasan perekrutan tentara dari Afrika yang diungkap dalam buku ini adalah: (1) kurangnya tentara di Hindia Belanda, khususnya akibat Perang Jawa (Perang Diponegoro), (2) tentara dari Afrika adalah tentara yang setia, penurut, pemberani dan tidak akan berbaur dengan penduduk Melayu. Setidaknya ada 3085 tentara dari Afrika yang pernah bergabung sebagai Koninklijk Nederlands-Indische Leger (KNIL) atau Tentara Kerajaan Hindia Belanda. Namun kenyataannya tidaklah sepenuhnya benar demikian.

Sejak pemerintahan Hindia Belanda diambil alih oleh Pemerintah Kerajaan dari VOC, tentara bayaran yang dulu disewa oleh VOC tidak lagi bisa digunakan. Pemerintah Kerajaan harus mengisi kekosongan tentara ini. Sayangnya, penduduk Kerajaan Belanda yang baru saja berpisah dari Belgia merosot dari delapan juta menjadi hanya dua setengah juta saja. Tingkat pengangguran yang rendah membuat minat para pemuda untuk menjadi tentara di wilayah jajahan sangat rendah. Mereka menganggap bahwa menjadi tentara di wilayah jajahan adalah masuk ke “kubangan lumpur kesengsaraan”. Banyaknya serdadu Eropa yang mati di era akhir VOC di Hindia Belanda juga menjadi penyebab kurangnya minat pemuda Belanda menjadi serdadu di Hidnia Belanda (hal. 22-23). Merekrut tentara dari kalangan orang Belanda dan Eropa sepertinya cukup susah. Lagi pula terbukti bahwa tentara Eropa banyak yang mati karena penyakit tropis selain karena perang.

Selain dari masalah dalam negeri, masalah di tanah jajahan juga menyebabkan berkurangnya tentara Kerajaan Belanda di Hindia Belanda. Akibat Perang Jawa, atau lebih dikenal sebagai Perang Diponegoro (1825-1830), Belanda kehilangan 8000 tentara Eropa dan 7000 tentara pribumi (hal. 23). Kondisi ini memaksa Kerajaan Belanda untuk segera mencari tentara yang akan ditempatkan di Hindia Belanda.

Pemuda Belanda tidak berminat jadi tentara di tanah jajahan. Merekrut tentara dari kalangan pribumi berisiko desersi yang sangat besar. Kasus perang Aceh dan Perang jawa telah membuktikan bahwa rekrutan tentara dari pribumi sering tidak setia. Tentara pribumi sering kali membelot dan bahkan melawan Belanda. Tentara pribumi juga sering kali tidak setia dalam perang. Contohnya para tentara dari Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Jogjakarta melarikan diri meninggalkan perang di Ungaran saat tentara Belanda mempertahankan Jawa dari serangan Inggris (Iwan Santosa, 2011: Legiun Mangkunegaran).

Orang Afrika telah terbukti hebat dalam ketentaraan. Sejak jaman Romawi, orang Afrika telah dijadikan tentara untuk menyerang wilayah baru atau untuk memadamkan koloni yang memberontak. Kesultanan Islam di Eropa merekrut para budak dan memerdekakannya untuk menjadi tentara. Inggris menggunakan batalion Afrika di India. Serdadu Afrika dikenal tangguh, patuh kepada pimpinan dan setia. Mereka mengidentifikasi dirinya seperti orang kulit putih dan tidak suka dengan penduduk setempat. Secara fisik mereka kuat dan tahan dalam kondisi yang serba kekurangan. Mereka adalah “orang perkasa”.

Kondisi yang demikian membuat usulan untuk merekrut serdadu dari Afrika mendapat sambutan yang kuat. Berbagai usulan untuk merekrut orang hitam muncul pada periode tahun 1827 sampai 1831. Usulan-usulan itu diantaranya muncul dari Hamilton untuk merekrut tentara hitam dari Suriname dan pantai barat Afrika, Hertog Bernard van Saken untuk merekrut bekas budak dari Amerika dan usulan yang sangat rinci dari Graaf Schimmelpenninck. Pada tanggal 22 Juni 1831 akhirnya Raja William I menyetujui untuk melakukan ujicoba membuat satu batalion tentara Negro di Hindia Belanda (hal. 33). Sejak itu dilakukan perekrutan serdadu dari Afrika untuk ditugaskan di Hindia Belanda. Serdadu dari Afrika diupayakan supaya menggunakan Bahasa Belanda dan bukan Bahasa Melayu. Mereka juga dikristenkan supaya berbeda dengan agama kebanyakan pribumi. Bahasa dan agama ini dipakai oleh Belanda untuk mencegah serdadu Afrika menjadi dekat dengan pribumi.

Perekrutan mula-mula dilakukan secara sukarela. Sebab saat perekrutan dilakukan, perbudakan sudah dihapuskan. Syahbandar Last gagal memenuhi permintaan 150 rekrutan. Ia hanya berhasil membawa 44 orang saja (hal. 43). Di era Syahbandar Lens, perekrutan dilakukan dengan sistem budak. Lens mengabaikan hukum anti perbudakan. Lens membeli budak dan kemudian dikirim ke Hindia Belanda sebagai tentara. Ia mengambil keuntungan pribadi dari perekrutan budak tersebut. Lens berhasil mengirim 130 dan 68 rekrutan ke Hindia Belanda (hal. 49). Selanjutnya Kerajaan Belanda memutuskan untuk merekrut lebih banyak tentara dari Afrika. Perekrutan ini bukannya tanpa kecaman. Inggris mengecam perekrutan orang Afrika ini sebagai perbudakan terselubung, terutama tentang cara Syahbandar Lans dalam merekrut tentara yang tak beda dengan membeli budak (hal. 115).

Untuk merekrut lebih banyak orang Afrika, Kerajaan Belanda secara resmi bekerjasama dengan Kerajaan Ashanti di Afrika. Namun kerjasama ini tidak berhasil dengan baik. Raja Ashanti tidak segera menyediakan 1000 serdadu yang dijanjikan. Sampai dengan akhir tahun pertama hanya ada 38 rekrutan yang dikirim. Ketidaklancaran ini disebabkan karena asumsi Belanda bahwa Kerajaan Ashanti memiliki stok budak yang melimpah yang bisa dijadikan serdadu ternyata salah. Sebab meski budaknya cukup banyak, ternayata para budak ini sudah diserap dalam sistem kemasyarakatan mereka. Para budak ini disiapkan untuk dikorbankan saat tuannya meninggal. Di lain pihak raja Ashanti kecewa dengan bayaran yang diberikan oleh Belanda (hal. 78).

Karena gagal merekrut orang-orang di sekitar ibu kota Ashanti, maka Belanda mengambil orang-orang di pedalaman. Suku-suku pedalaman (mereka disebut sebagai suku Donko, meski sebenarnya berasal dari berbagai suku) biasanya dijadikan budak oleh suku lainnya. Sebagai budak mereka sering dikorbankan dalam upacara kematian tuannya. Mereka dibunuh dan dikubur bersama tuannya. Mereka adalah orang-orang kuat dan setia. Mereka sangat senang direkrut menjadi serdadu. Pasalnya, dengan menjadi serdadu status mereka sebagai budak menjadi hilang. Mereka menjadi sejajar dengan orang kulit putih.

Saat orang-orang Donko direkrut sebagai calon serdadu, mereka tidak berpendidikan dan bahkan banyak yang tidak memiliki nama. Belanda harus memberi nama yang mudah dicatat dalam buku catatan serdadu (hal. 69). Nama-nama yang berbau Belanda terpaksa dipakai untuk memudahkan administrasi ketentaraan.

Bagaimana kiprah para serdadu Belanda Hitam ini di Hindia Belanda? Angatan pertama yang jumlahnya 44 orang ternyata berprestasi baik di Hindia Belanda. Dari 44 orang serdadu hanya 7 orang yang meninggal di medan perang (hal 142). Orang-orang pribumi takut dengan tentara Afrika yang hitam dan besar. Ketahanan mereka di iklim tropis juga sangat baik. Itulah sebabnya perekrutan dilanjutkan dan jumlahnya ditingkatkan.

Namun serdadu Afrika ini tidak semuanya memberi hasil yang baik. Rekrutan baru ternyata banyak yang bermasalah dengan kesehatan, sehingga banyak yang mati karena sakit. Persoalan lain adalah keonaran yang disebabkan karena alkohol dan perlakuan yang berbeda. Serdadu yang berasal dari Afrika pedalaman tidak terbiasa dengan alkohol sehingga mereka cepat mabuk dan membikin keonaran. Mereka juga tidak terbiasa memakai sepatu, sehingga disarankan untuk tidak diberikan sepatu kepada mereka. Namun perlakuan yang berbeda dengan serdadu asal Eropa ini menimbulkan kecemburuan. Perlakuan berbeda juga terjadi dalam fasilitas tidur, dimana orang Eropa diberi Kasur (jerami) sementara serdadu Afrika diberi tikar seperti serdadu asal Ambon. Masalah juga muncul terkait pelunasan sisa. Jika tentara asal Eropa segera mendapatkan sisa gajinya setiba di Hindia Belanda, para serdadu Afrika harus menunggu tiga bulan. Belum lagi soal bahasa (hal. 89).

Persoalan lain adalah penyakit rindu kampung yang membuat beberapa dari mereka mengalami kram perut dan sakit jiwa (hal. 90). Rindu kampung dan perasaan diperlakukan tidak setara dengan tentara Eropa menyebabkan pemberontakan di beberapa tempat, misalnya di batalion Batavia dan Surabaya (hal. 92) dan di batalion Sumatra Barat (hal. 94). Penyebab utama pemberontakan adalah karena mereka tidak disamakan perlakuannya dengan serdadu Eropa, melainkan disamakan dengan serdadu Ambon.

Meski beberapa komandan batalion berpendapat bahwa orang Afrika lebih baik dari orang Eropa (sebagai tentara) (hal. 94), namun pemberontakan yang sering terjadi menyebabkan perekrutan serdadu dari Afrika dihentikan pada Bulan Desember 1841 (hal 102).

Perekrutan baru kembali dilakukanpada tahun 1844 saat Hertog Bernard van Saken menjadi komandan baru di Hindia Belanda. Hertog sangat terkesan dengan kesetiaan serdadu Afrika dalam perang di Bali (hal. 110). Direncanakan untuk mendatangkan lagi 2000 sampai 3000 tentara Afrika ke Hindia Belanda.

Selain berperang di Bali, serdadu Belanda Hitam ikut berperang di Sumatra Barat (Perang Padri), di Sumatra Selatan – Lampung dan Prang Aceh. Mereka juga dikirim ke Timor, Sulawesi dan ke Kalimantan, meski hanya di garis belakang (hal. 147). Serdadu Afrika ini lebih banyak mati karena penyakit daripada karena perang (hal. 142). Ketika mereka berhasil beradaptasi, baik secara iklim maupun sosial, mereka menjadi serdadu yang hebat dan ditakuti.

Sebagai serdadu kontrak, mereka memiliki hak untuk dipulangkan ke Afrika setelah masa kontraknya habis. Ada serdadu yang dikontrak untuk masa 6 tahun, 12 tahun, 15 tahu atau 20 tahun. Meski memiliki hak untuk pulang, namun tidak semua serdadu Afrika memilih pulang. Ketika Hindia Belanda jatuh ke tangan Jepang, para serdadu Afrika yang adalah anggota KNIL ini ditahan. Sebagian dari mereka dikirim ke Burma untuk membangun jalan kereta api. Setelah Jepang kalah mereka memiliki tiga pilihan, yaitu menetap di Indonesia dan bergabung dengan TNI, kembali ke negara asalnya atau pindah ke Belanda. Banyak dari mereka yang kemudian menetap di Belanda, dan ada juga yang tetap tinggal di Hindia Belanda dan kemudian menjadi warga negara Indonesia. Crooy misalnya memilih untuk bergabung dengan TNI sebagai instruktur tank (hal. 257). Mereka yang memilih tinggal di Indonesia dan beranak pinak masih bisa ditelusuri keberadaannya di Purworejo dan sekitarnya (hal. 214). Sebagian dari mereka tinggal di Gang Afrika I dan Afrika II di Kota Purworejo (hal. 246).

Peran serdadu Afrika yang disebut sebagai Belanda Hitam telah mewarnai sejarah Indonesia. Kehadiran mereka sangat mengesankan sehingga masuk dalam khasanah sastra di Indonesia (hal. 199). Mereka digambarkan sebagai raksasa hitam. Salah satu contohnya adalah sosok wayang golek Sunda yang menggambarkan raksasa hitam. Sayang sekali bahwa tak banyak dari kita yang pernah tahu peran mereka di Indonesia.

Sumber: https://indonesiana.tempo.co

Komentar (0)


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Bidang yang harus diisi ditandai *