Bogor Masa Revolusi 1945-1950
Menyibak Perjuangan Masa Revolusi di Kota Bogor

Melati Salamatunnisa Oktaviani
Penulis di Mediaindonesia.com


JANGAN sekali-kali meninggalkan sejarah, pesan mantan Presiden Soekarno kala menyampaikan pidato terakhir pada 17 Agustus 1966.

   Pidato Jasmerah tersebut mengajari kita untuk selalu mengingat sejarah terlebih mempelajarinya karena sejarah menanamkan rasa cinta tanah air dengan memperkenalkan para pejuang yang rela berkorban jiwa, raga, serta harta demi mengusir penjajah dari Tanah Air.

Sebagai bangsa yang besar, sudah sepatutnya kita menghormati jasa para pahlawan.

   “Sejarah adalah salah satu cara untuk memprediksi dan memenangi masa depan. Akan tetapi, tidak banyak buku tentang kota dan tokoh-tokoh Kota Bogor,” ujar Wali Kota Bogor Bima Arya Sugiarto ketika ditemui dalam Peluncuran dan Diskusi Buku di Gedung Perpustakaan Universitas Indonesia, Rabu (8/3).

   Buku Bogor Zaman Jepang 1942-1945 & Bogor Masa Revolusi 1945-1950 merekam secara ilmiah perjuangan Kota Bogor pra dan pascakemerdekaan. Secara garis besar, buku Bogor Masa Revolusi 1945-1950:

Sholeh Iskandar dan Batalyon 0 Siliwangi meriwayatkan perjuangan Kiai Haji Sholeh Iskandar beserta rakyat Bogor di masa revolusi.

Edi Sudarjat, si penulis buku, mengambil bahan dari penelitian biografi KH Sholeh Iskandar yang masih berlangsung.

Hal itu dilakukan lantaran KH Sholeh Iskandar belum dianugerahi gelar pahlawan nasional lantaran belum ada biografi akademis tentang beliau.

Pada zaman revolusi, Sholeh Iskandar adalah mayor Batalyon 0, Brigade Tirtayasa, Divisi Siliwangi.

Batalyon 0 memiliki peran kunci dalam pemerintahan RI Bogor di antaranya ketika pemerintah RI Bogor mengungsi ke Jasinga lalu ke Malasari karena Kota Bogor dikuasai pemerintah Negara Pasundan (NP) bentukan Belanda, serta melindungi dan membangun organisasi pemerintahan.

Sholeh Iskandar mengundurkan diri dari ketentaraan seusai kemerdekaan RI diakui Belanda.

“Tanpa bermaksud membesar-besarkan nama Sholeh Iskandar dan rekan-rekan seperjuangannya karena sesungguhnya Sholeh Iskandar, yang belakangan dikenal sebagai ulama, tidak ingin perjuangannya dikenang dan dikultuskan yaitu dihormati berlebihan sampai dipuja-puja,” jelas Edi Sudarjat kala diskusi.

Dicintai rakyat

Buku ini mengisahkan Batalyon 0 sangat dicintai rakyat.

   Saat Batalyon dipindahtugaskan ke Cipanas, Lebak, pemerintah RI Bogor menggelar pesta perpisahan sekaligus memperingati Hari Angkatan Perang Keempat RI dan dimeriahkan pameran pembangunan selama lima hari (5-10 Oktober 1949).

   Bahkan hal ini diakui pasukan Belanda Regiment Jeger 3e Batalyon yang bertugas di Bogor Barat-Banten, “Ia (Sholeh Iskandar) adalah salah satu pemimpin kelas menengah Indonesia yang berhasil mengorganisasi dukungan rakyat. Ia didukung rakyatnya dengan sangat kuat.”

Di daerah Leuweng Kolot, Ciampea, Bogor, sebuah tempat bernama Kampung Tank adalah saksi ketangguhan Batalyon 0.

Di sini tak lain merupakan bekas tempat peledakan tank baja Sekutu terbesar jenis Sherman di daerah Leuweng Kolot, Ciampea, Bogor.

Batalyon 0 disegani bukan hanya karena jumlah senjatanya, melainkan juga karena semangat, daya juang, disiplin, dan pengorganisasiannya cukup rapi.

Hal itu diceritakan pada subbab 1.7 Batalyon O: Disegani Kawan dan Lawan.

Perjuangan rakyat Bogor di masa revolusi dibahas secara jelas di bab 2.

   Diawali pembentukan pemerintahan di Bogor yang secara sigap langsung dipilih rakyat, antara lain Keresidenan Bogor, Komite Nasional Indonesia (KNI) Keresidenan Bogor, Badan Keamanan Rakyat (BKR) Keresidenan Bogor.

Sewaktu pemerintah RI mengeluarkan Maklumat Pembentukan TKR pada 5 Oktober 1945, seluruh komandan BKR di Jawa Barat diundang membentuk TKR, disusul pembentukan 13 resimen yang masing-masing memiliki 3 atau 4 batalyon.

   Namun kemudian, pasukan AFNEI atau pasukan sekutu untuk Hindia Belanda yang membonceng anggota Pemerintahan Sipil Belanda (NICA) tiba di Jakarta yang berimbas pada kehadiran tentara Sekutu-Inggris di Bogor pada 22 Oktober 1945.

Sejak itu, kekacauan merajalela di Bogor.

   Dari anggota BKR yang menyerang Inggris-NICA dan menindak rekan-rekannya sendiri yang merusak keamanan, hingga pasukan Inggris, NICA, dan KNIL yang menggeledah, membakar, menembaki rumah penduduk di Panaragan Kidul, Gunung Batu, Gang Kepatihan, dan Lebak Kantin, serta menyerang titik vital pertahanan RI di Teluk Pinang (Ciawi), Cinangneng, Depok, Ciluar, Cijeruk, Sindangbarang, Cikereteg, dan Pagentongan sepanjang tanggal 16-18 Desember 1945.

   Akibatnya, pemerintahan RI Bogor terpaksa mengungsi ke Dramaga pada 16 Desember 1945.

   Sementara itu, tentang situasi pemerintahan di awal masa revolusi di Bogor Barat.

   Di sini diterangkan tiga faktor mengapa perlawanan rakyat di Bogor Barat kepada Sekutu-NICA begitu kuat: pertama, tampilnya alim ulama yang mampu memimpin masyarakat; kedua, telah tumbuh nasionalisme dalam diri alim ulama, ketiga, adanya pengalaman pahit karena kesewenang-wenangan para tuan tanah partkelir di zaman Belanda.

   Tidak mengherankan pada masa revolusi, dari Bogor Barat hingga ke arah Banten, pimpinan pemerintahan RI hampir seluruhnya dipegang ulama dan kiai, seperti Residen Banten yang dijabat KH Ahmad Chatib dari Pondok Pesantren Caringin.

   Ada pula kisah penumpasan aksi daulat Ki Narija dan Ce Mamat pada Pertempuran Menghebat di Bogor Barat pada Akhir 1945.

   Aksi daulat adalah sebutan gerakan kudeta pada masa revolusi.

   Penumpasan aksi daulat ini menangkap salah seorang pemimpin aksi, Sutjipto, salah seorang guru politik Sholeh Iskandar di Gerindo.

   Hal itu menimbulkan perasaan khusus dalam diri Sholeh Iskandar, sama halnya Sutjipto yang kecewa melihat Sholeh ‘bersebrangan’.

   Buku Bogor Masa Revolusi 1945-1950: Sholeh Iskandar dan Batalyon 0 Siliwangi diselingi foto, biografi, berikut artikel para tokoh yang berperan pada masa revolusi tersebut.

   Salah satu yang menarik adalah adanya biografi singkat KH Raden Abdullah Bin Nuh: Sang Ulama, Penyair dan Pejuang Kemerdekaan RI dengan sebuah kombinasi Pisau dan Tasbih.

   KH Dadun Abdul Qohhar, rekan seperjuangannya, menuturkan, “Mama’ Abdullah bin Nuh sering terlihat naik kuda, dengan pistol di pinggang sambil memegang tasbih di tangan.”

   Sebenarnya, ada dua buku yang pernah diterbitkan Pemerintah Daerah (Pemda) Bogor berjudul Sejarah Perjuangan di Kabupaten DT II Bogor (1942-1949) oleh HA Matin Burhan (et al) dan Bogor di Masa Perjuangan oleh Ariwiardi (et al). Namun, buku tersebut sulit ditemukan orang apalagi dibaca.

   Oleh karena itu, diharapkan buku Bogor Masa Revolusi 1945-1950: Sholeh Iskandar dan Batalyon 0 Siliwangi mampu memberikan wawasan baru mengenai sejarah Kota Bogor dan melengkapi koleksi yang pernah ada sebelumnya.

Bogor Masa Revolusi 1945-1950: Sholeh Iskandar dan Batalyon 0 Siliwangi merupakan naskah jilid pertama yang akan disambung dengan jilid berikutnya.


Sumber: http://mediaindonesia.com/read/detail/96997-menyibak-perjuangan-masa-revolusi-di-kota-bogor

Komentar (0)


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Bidang yang harus diisi ditandai *