Ulasan ini diterbitkan majalah POTRET: Media Perempuan Aceh, Edisi 56 Tahun IX


Gamang! Itulah situasi yang dihadapi para pegiat hak-hak perempuan di lapangan, ketika menghadapi organisasi perempuan yang tua dan ‘mengakar’, bernama PKK (Pembinaan Kesejahteraan Keluarga). Di satu sisi, organisasi ini terlanjur dekat dan melekat pada ibu-ibu di akar rumput, di sisi lain, cara kerjanya yang paternalistik dan top-down bertentangan dengan semangat gerakan perempuan yang lahir untuk membebaskan perempuan dari setiap relasi yang hierarkis dan menindas. Kegamangan tersebut, sering dihadapi terutama oleh generasi yang lahir setelah tahun 70-80an, yang karena ‘mengakarnya’ PKK ini, hingga tidak mudah bagi generasi kini untuk mengkritisi jejak sejarahnya. Mengapa organisasi perempuan yang ‘mengakar’ di desa-desa itu, juga sekaligus membuat warga perempuan tak lebih dihargai dari warga laki-laki? Bahkan mengukuhkan tradisi isteri ikut suami?

Bagi mereka yang bekerja dengan perempuan di tingkat desa, hampir tak bisa mengabaikan setidaknya mesti berhadap-hadapan dengan PKK, yang diketuai Ibu kepala desa atau ibu lurah, lalu ibu camat di tingkat kecamatan, ibu bupati, ibu gubernur, terus hingga pembina tertingginya presiden RI. Cengkraman negara melalui suami para ketua PKK, menjadikan PKK sebagai media terbaik negara untuk menggerakan ibu-ibu, yang akan berpengaruh pada level terinti masyarakat yaitu keluarga. Tidak mengherankan juga, misalnya, ketika baru-baru ini, proyek tenaga nuklir yang masih pro dan kontra, di Tangerang, negara menyikapinya dengan mensosialisasikan manfaat tenaga nuklir untuk USG kehamilan melalui jaringan PKK.

Julia Suryakusuma melalui buku terbarunya Ibuisme Negara: Konstruksi Sosial Keperempuanan Orde Baru, membantu kita menelusuri sekaligus mengkritisi sejarah kebijakan Orde Baru, yang secara buruk berhasil mengkonstruksi kaum ibu, menjadi alat negara. Meskipun buku ini merupakan hasil penelitian kegiatan PKK di Perkebunan Karet Citandoh, Desa Buniwangi, Sukabumi, Jawa Barat, cara penyajiannya tidak membosankan. Lebih dari itu, sebagai studi kasus untuk melihat konstruksi sosial keperempuanan di indonesia, buku ini memuaskan pembaca dari mulai penggalian konsep, paparan metodologi, dan temuan berikut analisanya yang dalam.
Julia mengawali tulisannya, dengan mendekatkan pembaca pada konsep ibuisme dan pengiburumahtanggaan. Ibuisme negara adalah upaya domestifikasi kaum perempuan yang dilakukan negara. Domestifikasi ini menurut Julia mempunyai implikasi penjiakan, segregasi, dan depolitisasi kaum perempuan, karena dalam paham ibuisme, kaum perempuan harus melayani suami, anak-anak, keluarga, masyarakat, dan negara. Isme ini juga sebagai bagian tak terpisahkan dari upaya negara birokrasi militer untuk menjalankan kekuasaan dan kontrolnya atas masyarakat Indonesia. Sedangkan pengiburumahtangaan adalah strategi untuk mereproduksi tenaga kerja (buruh) dan untuk menciptakan agen-agen konsumsi (pembeli) yang dihasilkan ibu rumah tangga yang didomestifikasi atau dijinakan itu. Konsep inilah yang kemudian dipakai negara untuk mengkonstruksi perempuan Indonesia yang diinginkan.

Bab selanjutnya, pembaca diingatkan dengan sejarah organisasi perempuan di Indonesia, hingga tiba pada periode Orde Baru, dimana ibuisme negara mulai dipraktekkan. Di masa ini, organisasi-organisasi isteri yang beragam bidang fokus profesi, kemudian ditunggalkan oleh negara dalam wadah Dharma Wanita. Penunggalan ini selain penghapusan identitas masing-maasing organisasi juga pembuatan kewenangan garis vertikal. Struktur organisasi hierarkis sepenuhnya terpusat, mencerminkan hieraki laki-laki (yaitu suami), dan Presiden RI adalah pembinanya. Perempuan diletakan sebagai isteri setia pendamping suami, yang mendukung tugas suaminya dengan menciptakan suasana harmonis, menghindari sikap anti-pancasila dalam rangka menciptakan pegawai negeri yang bersih dan berwibawa (Program Kerja Dharma Wanita). Di bagian ini, saya teringat teman perempuan saya seorang dokter yang menikah dengan laki-laki PNS. Betapa ia jengah, di tengah kesibukannya melayani pasien, ia masih harus sempatkan waktu, masak-memasak atas tuntutan perannya sebagai Dharma Wanita. Lagi pula bukankah memasak hal yang hampir perempuan lakukan tiap hari di rumahnya?, tuturnya, gelisah.

Praktek yang sama juga dijalankan kepada perempuan akar rumput di desa melalui PKK, yang mengkonstruksi perempuan sebagai pembentukan masyarakat dan keutuhan negara melalui tiga cara. Pertama, sebagai satuan ekonomi, tempat untuk reproduksi, pembentukan tenaga kerja baru, dan juga medan konsumsi. Kedua, sebagai satuan “bio sosial”, yaitu tempat hubungan biologis ibu-ayah-anak mendapatkan konstruksi dan makna sosial. Ketiga, keluarga sebagai tempat terjadinya pembentukan satuan idiologis – sistem nilai, keyakinan, agama, tradisi, sosila budaya, dan konservatisme — yang ditanamkan sejak masa kanak-kanak.

Untuk menguji seberapa isme ini mencengkram dan memperalat ibu, di Bab IV, Julia menyajikan bagaimana praktek ibuisme diberlakukan kepada ibu-ibu buruh karet melalui PKK di Desa Buniwangi, Sukabumi, Jawa Barat. Di bab ini, Julia dengan cantik mendekatkan pembaca pada konteks tradisi perempuan Sunda, startifikasi sosial, jender dan hubungan produksi, hingga kultur di perkebunan karet, Citandoh, sebelum masuk pada penelitian praktek kebijakan PKK, yang menjadi studi kasusnya. Dengan pendekatan seperti itu, tidak mengherankan jika buku ini berhasil mengungkap hubungan negara dan masyarakat melalui PKK serta implikasinya bagi perkembangan kaum perempuan dan bangsa secara keseluruhan. Pilihan Julia pada organ PKK ini juga karena PKK jumlahnya cukup signifikan, terdapat di 66.437 desa di Indonesia. Dan tentu guna mengkritisi manfaat yang dinikmati oleh negara, yaitu dampak idiologis dan jaminan keamanan yang ditimbulkan oleh PKK dan bukan manfaat program-programnya bagi kaum Ibu.

Buku ini juga menyajikan bab metodologi yang tak hanya detail tapi juga memaparkan kegelisahan Julia, sebagai feminis, terhadap metodologi mainstream yang tak sepenuhnya dapat dijadikan alat untuk mengeluarkan apalagi menganalisis pengalaman perempuan. Pengalaman idiologis-personalnya dengan Lies Marcoes yang menjadi asisten lapangannya, juga interaksinya dengan perempuan-perempuan dalam penelitiannya dipaparkan secara detil. Julia juga menunjukkan ketelatenannya berpegang pada prinsip bahwa pengetahuan yang dihasilkan penelitian ini dapat bermanfaat bagi perempuan yang asumsinya dapat mempertemukan kesamaan kepentingan antara peneliti dan “yang ditelitinya.”

Ya, buku ini penting untuk dibaca, bukan hanya karena penulisnya yang berwawasan luas dan kritis, melainkan juga dampak ibuisme negara yang masih menjadi kendala bagi kemajuan perempuan Indonesia hingga saat ini. Cara pandang Julia yang juga berhati-hati dengan perbedaan konteks antara Indonesia dan bukan Indonesia, membuat buku ini juga meletakan pikiran peneliti Indonesia pada martabatnya, sekaligus membantu bukan Indonesia memahami konteks konstruksi perempuan secara keindonesiaan. Maka, tepatlah jika buku ini juga diterbitkan dwi bahasa –Indonesia dan Inggris—dalam satu buku. Dengan gambar sampul lukisan berbeda, karya Astari Rasyid, yang begitu pas dengan konsep bagaimana perempuan dikonstruksi keibuannya oleh negara dan keiburumahtanggaan yang juga diharap sistem kapitalis. (Dewi Nova)

Komentar (0)


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Bidang yang harus diisi ditandai *