Gambaran Taman-Taman di Jawa Kuno yang Imajinatif

Materi untuk acara #bukudisenjakala episode 5, 28 April 2020 membedah buku “Taman-Taman di Jawa” karya Dennys Lombard bersama Yoshi Fajar Kresno Murti[1]


Buku “Taman-Taman di Jawa” ditulis dengan intensi seorang (sejarawan) Prancis yang begitu mencintai Jawa. Hal ini terlihat dari seluruh alasan dan kesimpulan dari dituliskannya buku ini (yang sesungguhnya sebuah artikel panjang di jurnal Arts Asiatiques, Jilid XX, Hal. 135 – 183, Tahun 1969), dengan sendirinya telah mengatakan dengan jelas.

Gagasan utama pencarian taman-taman di Jawa oleh Lombard, salah satunya, dilandasi latar belakang pencarian taman-taman di Asia Tenggara sebagai bahan perbandingan taman-taman di wilayah lain, yaitu Persia, India, Tiongkok, dan Jepang, yang selama ini dikenal oleh Eropa (Hal. 1, paragraf 1).

Taman-Taman di Jawa/Gardens in JavaMenurut Lombard, kajian tentang taman disusun untuk menguraikan gambaran setidaknya dalam dua hal: situasi-nya dan tata ruang taman-nya. Dengan memeroleh gambaran mengenai dua hal tersebut, maka sedikit banyak nilai estetik dan makna filosofis sebuah taman lantas bisa dikisahkan (Hal. 1 paragraf 1).

Cara yang ditempuh untuk mendapatkan gambaran yaitu dengan menelisik sisa-sisa peninggalan yang diasumsikan sebagai “taman di masa lalu”. Didaftar, diiidentifikasi, dan dipilah, dari wilayah Banten hingga Narmada – Lombok. Secara lebih mendalam, Lombard memutuskan pilihan dengan berbagai pertimbangan untuk melakukan studi kasus Gua Sunyaragi di Cirebon dan Taman Sari di Yogyakarta.

Penelisikan dilakukan dengan cara rekonstruksi ruang, pelacakan fungsi ruang, lalu membaca makna simbolik dari reruntuhan “taman” di masa lalu, dengan mengumpulkan sebanyak mungkin konteks sejarah dari reruntuhan tersebut – dilengkapi dengan cross-check; dengan cerita lisan yang berada di sekitar (maupun yang berkaitan) dengan reruntuhan maupun catatan-catatan yang telah dibuat mengenai kisah reruntuhan “taman” di masa lalu tersebut. Tidak hanya cerita lisan dan tertulis, tetapi juga melakukan pengamatan terhadap produk budaya lainnya, misalnya dalam kasus Gua Sunyaragi yang dibahas, dicari keterkaitan-nya dengan motif batik Cirebon.

Penelisikan mengenai gambaran situasi dan tata ruang belum menjawab mengenai landasan apa (estetik dan filsafat) yang menyusun situasi dan tata taman tersebut hadir. Mengapa ada sebuah situasi dan tata-taman yang demikian itu? Pemikiran atau konsepsi budaya (Jawa) yang bagaimanakah yang mendasarinya? Lombard kemudian menelusurinya melalui relief candi Borobudur dan sastra Jawa kuno atau sering disebut dengan: kakawin. Dalam hal ini, Lombard membaca 4 produk sastra Jawa kuno, yaitu: roman sejarah Rangga Lawe, Puisi Sudamala, Puisi Sri Tanjung, dan Kitab Sutasoma. Lombard juga menelusur melalui lakon wayang kulit, misalnya lakon Hanuman Obong, Sumantri Ngenger, dan Bangun Taman Maerakaca. Termasuk juga menelusur melalui pagelaran wayang wong dalam lakon: Pergiwa-Pergiwati. Semua pembacaan ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran mengenai konsepsi (budaya) Jawa yang bagaimanakah yang melandasi sebuah situasi dan tata taman dibangun.

Yang menarik lagi, Lombard juga melacak gambaran situasi dan tata taman Jawa, sekilas melalui 3 contoh kasus dari apa yang disebutnya sebagai “situs-situs alam” di Jawa, yaitu situs pegunungan Dieng, situs gunung Pananggungan, dan situs Candi Suku. Situs-situs ini dilihat sebagai semacam perbandingan – untuk menemukan semacam benang merah, untuk melihat landasan estetika dan filsafat yang memberi konteks pada konsepsi Taman Jawa.

Dari semua prosedur penelisikan dan pelacakan yang dilakukan, di akhir tulisan Lombard sampai pada titik afirmasinya:

“Tujuan saya disini hanya memberikan penjelasan sangat singkat tentang beberapa hal dari sebuah tradisi panjang, yang didalamnya, saya percaya, taman-taman abad ke-18, meskipun dibangun dalam konteks masa Islam dan Eropa, bukanlah sesuatu yang mutlak asing” (hal. 61).

Demikianlah, dengan afirmasi-nya Lombard telah menegakkan eksistensi atau keberadaan Taman Jawa. Taman Jawa itu ada dan berakar dalam lintasan waktu cukup panjang dan meliputi wilayah yang luas, meskipun pengaruh Islam dan Eropa masuk ke dalam kehidupan (budaya) Jawa. Bukti reruntuhannya ada, kisahnya ada, landasan epistemologisnya ada. Habitus Jawa-lah yang melahirkan estetika dan filsafat taman-taman abad ke-18 tersebut. Sebagai konsekuensi ilmiah dari afirmasi Lombard, melalui catatan Groneman, Lombard menekankan secara kuat bahwa Taman Sari di Yogyakarta dibangun atas perintah Sultan HB I dibawah pengawasan Bupati Kyahi Tumenggung Mangundipura, dibantu Ki Lurah Dawelingi (orang Bugis), bukan oleh “arsitek” dari Portugis seperti yang diyakini Dinas Purbakala Yogyakarta hingga hari ini.

Beberapa Catatan

Sesungguhnya buku “Taman-taman di Jawa” ini menulis mengenai “tempat kerja spiritual”, sebuah tempat “peristirahatan”, pesanggrahan, atau tempat singgah (untuk menekankan bukan sebagai tempat tinggal) yang dibutuhkan ketika para kaum kesatriya berada ditengah “alas gung liwang-liwung” alias di luar ranah kediaman (domestik)-nya. Itulah salah satu makna taman dalam pembahasan buku ini.

Taman-taman Jawa itu di dalam konteks kekuasaan raja (pemimpin) Jawa merupakan “ruang adiduniawi dan semi-ilahi” tempat dimana penguasa melakukan tapa brata. Sebuah tempat kerja spiritual. Dengan demikian konsepsi taman, garden, jardin, dalam pengertian sebuah “rasa pengaturan ruang” yang di buku ini pada awalnya diandaikan pengertiannya berbasis pada ruang teritorial (?) arsitektural, pada ujungnya sublim menjadi ruang “adiduniawi”. Kesimpulan Lombard mengatakannya.

Konsekuensi dari pengandaian ini menunjukkan, bahwa barangkali konsepsi “taman” kuno di Jawa itu tidaklah kongkrit, dalam pengertian teritorial-arsitektural. Dalam lakon wayang kita temui, sebuah estetika atau “sebuah rasa pengaturan” (yang alamiah maupun buatan) bisa tiba-tiba muncul di tengah “alas gung liwang-liwung”, ketika seorang kesatriya melakukan perjalanan (spiritual)-nya. Estetika dan juga filsafat hadir dalam situasi dan tata (sosial) yang tidak menentu, di dalam perjalanan yang chaotic. Itulah mungkin, konsepsi tentang “taman”.

Situasi dan tata ruang di dalam taman Jawa kuno tidaklah yang utama, tetapi positioning-nya itu yang mendasar – yang esensial. Fungsi pragmatisnya, sebuah “taman” tersebut dibangun dimana, dalam momentum apa, atau dalam rangka penanda (peristiwa) apa. Demikian juga pada elemen-elemen taman: ekterior-interior, dekorasi, pepohonan, dan lain sebagainya,… semuanya dirangkai oleh “rasa pengaturan ruang” untuk menandai dan menandakan positioning-nya. Bukan pada fungsi ruang di taman ataupun pola aktivitas yang dilakukan di taman. Sebuah pohon ditanam di dalam konteks penandaan, kerja eventual, dan bersifat momentum. Demikian juga dengan keberadaan sebuah “taman”.

Jika buku “Taman-Taman Di Jawa” ini diawali dgn pertanyaan: bagaimana gambaran taman di Jawa kuno? Lalu segala upaya dikerahkan untuk berusaha menggambarkan konsepsi “taman” di Jawa, saya justru lebih tertarik pada pertanyaan: dimana saja gambaran tentang “taman” dalam imajinasi Jawa kuno kita temui? Tak pelak lagi, kita akan banyak menemukan gambaran-nya di dalam Kakawin, puisi jawa kuno. Dalam sebuah Kakawin, konsepsi taman atau rasa keindahan dilukiskan ketika orang memasuki sebuah Patani, yaitu semacam rumah istirahat, persinggahan, ruang nenepi (Bandingkan: I. Kuntoro Wiryamartana, SJ, “Alam, Keindahan, dan Kakawin”, dalam Buku “Sraddha, Jalan Mulia: Dunia Sunyi Jawa Kuno”, 2019, Hal. 13 – 22).

Di dalam Patani, sebuah taman yang digambarkan sangat indah, sekaligus sebagai tempat sebuah kakawin atau puisi jawa kuno dilahirkan. Keindahan melahirkan keindahan.

Bagaimana sebuah Patani, tempat yang indah atau sebuah taman dilukiskan? Dari penelusuran membaca terjemahan Kakawin, gambaran taman sesungguhnya sangat imajinatif, cenderung tidak nyata, mungkin dalam bahasa Lombard disebut sebagai sesuatu yang “adiduniawi”. Bagaimana mungkin gambaran dinding – dinding taman yang berlapis emas sehingga sinar batu dikatakan seperti terang yang “lebih terang dari siang”? Gambaran taman di dalam Kakawin, sangat imajinatif: taman adalah surga. Dengan demikian, ketubuhan Jawa Kuno ataupun sebuah hasrat pengaturan bentang alam baik berupa taman maupun bangunan dilandasi oleh hasrat meleburkan diri pada alam (tanah, air, udara, dan tumbuhan) yang sudah indah.

Di dalam konteks yang lain, sesungguhnya dunia agraris Jawa tidak mengenal taman. Orang membangun pekarangan untuk menetap, menggantikan posisi hutan yang chaotic di dalam konteks berburu dan meramu. Ketika orang mulai menetap dan mengolah tanah, waktu dan ruang dunia agraris merupakan dunia yang berkala wataknya. Bermusim, dan mempunyai rentang waktu atau momen tertentu untuk makan, panen, dan bercocok tanam. Berbeda dengan di hutan, konsep makan dan bertahan hidup bisa setiap saat. Di dalam konteks agraris, pekarangan menempati fungsi keseharian untuk survive, menunggu musim panen. Pekarangan adalah pengganti hutan, yang ditarik dalam keseharian yang menetap.

Konsepsi urban mengubah pekarangan menjadi halaman rumah, saat ketika rumah menjadi dominan menjadi produk dan komoditas. Di konteks halaman rumah itulah, gagasan mengenai taman, hadir. Saat rumah menjadi komoditi., menjadi ruang yang berharga di dalam pasar.

Dari perspektif pragmatis, seorang petani membangun dangau di sawahnya untuk istirahat, demikian juga seorang raja, Ia membangun tempat untuk dirinya beristirahat, sebagai tempat mengasah diri. Sesungguhnya taman di alam Jawa kuno bukanlah alam buatan, karena dengan demikian ia akan selalu berada dalam batas-batasnya. Tetapi ia merupakan sebuah proses(i), seperti halnya gubahan-gubahan kata (kalangwan) sebagai upaya meleburkan bahasa dalam ketiadaan batas.


[1] Arsitek ugahari, tukang kebun dan pengarsip tanaman

Komentar (0)


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Bidang yang harus diisi ditandai *